Reaksi KPK soal Putusan MK Mantan Koruptor Bisa Maju Pilkada setelah 5 Tahun: Ya Sedikit Terobati
Saut Situmorang memberikan tanggapan perihal putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan mantan narapidana kasus korupsi babisa calonkan pilkada.
TRIBUNPAPUA.COM - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang memberikan tanggapan perihal putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan mantan narapidana kasus korupsi baru bisa mencalonkan diri pada Pilkada setelah lima tahun.
Saut mengatakan, putusan tersebut merupakan "obat" dalam upaya mewujudkan politik berintegritas yang diperjuangkan oleh KPK.
• Reaksi Mahfud MD soal PKPU yang Bolehkan Mantan Koruptor Maju Pilkada: Ya Memang Putusan MK Begitu
"Paling tidak ya sedikitlah terobati apa yang kita minta perlunya politik cerdas berintegitas di negeri ini dan itu bisa datang dari kompetensi kita masing masing," kata Saut kepada Kompas.com, Rabu (11/12/2019).
Menurut Saut, putusan MK itu juga merupakan "pelepas dahaga" bagi gerakan pemberantasan korupsi berkaca dari Undang-undang KPK dan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang menurutnya belum sempurna.
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa putusan itu belum tentu cukup untuk membuat para kepala daerah takut melakukan korupsi.
Saut berpendapat, pencegahan korupsi mesti dilakukan bersama-sama termasuk kesadaran para kepala daerah untuk menjauhi korupsi.
"Ya pastilah tidak ada jaminan tidak korupsi lagi, itu kan dengan harapan, namun apakah mencapai sasaran? Secara simultan harus dilakukan tindak cegah sehingga cara menilainya sejauh apa semua kita berinisiatif," ujar Saut.
• Soal Hukuman Mati Koruptor, Komnas HAM Tak Setuju: Lebih Penting Diskusikan Koruptor Boleh Menjabat
Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian permohonan uji materi pasal pencalonan mantan narapidana sebagai kepala daerah yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Hakim Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).
Mahkamah menyatakan, Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.
Pasal tersebut juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada disebutkan, salah satu syarat seseorang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah adalah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Oleh karena MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, bunyi pasal tersebut menjadi berubah.
Setidaknya, ada empat hal yang diatur dalam pasal itu.
Pertama, seseorang yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak pernah diancam dengan hukuman pidana penjara atau lebih, kecuali tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik.