Nasional
MA Beri Karpet Merah Bagi Para Koruptor
Peneliti ICW Wana Alamsyah menyebutkan, putusan MA tersebut semakin melemahkan agenda pemberantasan korupsi.
TRIBUN-PAPUA.COM - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut pasal pengetatan remisi koruptor dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.
Mereka menggelar unjuk rasa melalui aksi teatrikal singkat di depan Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (8/11/2021).
ejumlah anggota ICW membawa poster dengan kalimat bernada kritik, seperti "MA gelar karpet merah untuk koruptor?".
Ada pula kalimat "Koruptor: Karena putusan MA, bebas penjara jadi lebih mudah".
Kemudian, mereka melakukan aksi simbolis penyerahan kado bertuliskan "Hadiah untuk koruptor".
Baca juga: BBM Langka di Kota Sorong, 21 Pengecer Ditangkap dan Terancam 6 Tahun Bui
Seorang anggota ICW yang mengenakan toga, seperti hakim atau jaksa, memberikan kado kepada anggota ICW dengan memakai rompi oranye, bak tersangka korupsi.
Dalam orasinya, Peneliti ICW Wana Alamsyah menyebutkan, putusan MA tersebut semakin melemahkan agenda pemberantasan korupsi.
Sebab, syarat pemberian remisi untuk para koruptor sama dengan tindak pidana kejahatan lain.
“Artinya, setiap koruptor yang nantinya akan mendapatkan atau mengajukan remisi akan dipermudah,” jelas Wana.
Berdasarkan PP Nomor 99 Tahun 2012, pemberian remisi dapat dilakukan jika narapidana kasus korupsi bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara atau berstatus justice collaborator.
Status tersebut dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum, antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan Kejaksaan Agung.
Baca juga: Honor Belum Cair, Gubernur Lukas Enembe Minta Maaf Kepada Para Sopir PON XX Papua
Syarat lainnya, narapidana telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Namun, syarat tersebut dihapus melalui putusan MA yang mengabulkan uji materi Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43A ayat 1 huruf a, serta Pasal 43A ayat (3) PP 99/2012.
Dengan demikian pemberian remisi untuk narapidana korupsi tidak dibedakan lagi.
Syarat pemberian remisi untuk koruptor sama dengan narapidana kasus tindak pidana lain.
Putusan MA bermula dari permohonan uji materi PP 99/2012 terhadap Undang-Undang (UU) No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, diajukan oleh lima narapidana Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Klas IA, Bandung.
Pemohon menilai empat pasal dalam PP 99/2012 bertentangan dengan UU Pemasyarakatan.
MA memiliki sejumlah alasan dalam mengabulkan uji materi itu.
Baca juga: PPP Papua: Rekomendasi Cawagub Masih Menunggu Keputusan Pusat
Pertama, pemidanaan dengan memenjarakan tak hanya dilakukan untuk memberi efek jera, tetapi harus sejalan dengan prinsip restorative justice.
Kedua, MA menilai narapidana adalah subyek yang sama dengan manusia lainnya, yang berarti sangat mungkin berbuat khilaf.
Maka, yang mesti diberantas bukan narapidananya, melainkan faktor-faktor penyebab tindak pidana itu terjadi.
Ketiga, persyaratan mendapatkan remisi tidak boleh dibeda-bedakan. Jika tidak, dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan.
MA juga meminta agar syarat pemberian remisi di luar syarat pokok, semestinya menjadi hak remisi di luar hak hukum yang telah diberikan.
Terakhir, MA memandang bahwa pemberian remisi merupakan kewenangan lembaga pemasyarakatan (lapas).
Baca juga: Madura United di Zona Degradasi, Rahmad Darmawan Undur Diri
Bukan lagi kejahatan luar biasa
Wana menilai, akibat putusan itu, korupsi tak lagi dinilai sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
Sebab, berdasarkan latar belakang dan dampaknya, tindak pidana korupsi membawa sejumlah kerugian ketimbang tindak pidana umum lainnya.
“Padahal, korupsi menyebabkan kemiskinan, kerugian negara, dan lain sebagainya,” ucapnya.
Wana mengungkapkan, putusan MA ini mendegradasi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ia berpandangan, putusan ini akan semakin memudahkan koruptor untuk mendapatkan remisi, padahal selama ini tren vonis terbilang ringan.
“Dalam laporan tren vonis pada 2020, rata-rata vonis yang diterima terdakwa kasus korupsi hanya 3 tahun 1 bulan,” ungkap dia.
Baca juga: Kehadiran Calon Pilot Asal Puncak Jaya Bukti Nyata Keberhasilan Otsus
Dampaknya, kata Wana, para koruptor tidak akan merasa jera atas tindakan yang dilakukannya itu.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana berpendapat, putusan MA ini menunjukkan agenda pemberantasan korupsi mengalami kemunduran.
Ia menuturkan, semangat pemberantasan korupsi yang menjadi cita-cita reformasi perlahan dilumpuhkan.
Denny menduga sebentar lagi obral remisi untuk koruptor akan terjadi.
“KPK sudah mati suri melalui perubahan Undang-Undang (KPK), pengetatan remisi kembali dihilangkan, sehingga sebentar lagi kita akan kembali mengalami obral remisi,” paparnya.
“Dan kita akan semakin permisif pada terhadap para pelaku korupsi,” imbuh dia. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Hadiah untuk Para Koruptor...",