ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Filep Karma Meninggal

FLASHBACK Filep Karma: Kibarkan Bintang Kejora, Dibui Hingga Ragukan DOB dan Otsus!

Filep Jacob Semuel Karma atau biasa dikenal dengan nama Filep Karma, adalah aktivis kemerdekaan Papua.

Editor: Roy Ratumakin
Istimewa - Piter Lokon
Filep Jacob Semuel Karma atau biasa dikenal dengan nama Filep Karma, adalah aktivis kemerdekaan Papua. 

Filep kembali dipenjara setelah mengorganisasi sebuah upacara peringatan 1 Desember 2004 —untuk menandakan ulang tahun kedaulatan Papua pada 1 Desember 1961.

Peristiwa ini dihadiri ratusan pelajar dan mahasiswa Papua. Mereka juga menyerukan penolakan terhadap otonomi khusus yang dinilai gagal.

Dia ditangkap lagi, mula-mula ditahan di kantor polisi Jayapura, kemudian diadili di pengadilan negeri Abepura.

Pada 27 Oktober 2005, Pengadilan Negeri Abepura menghukum Filep Karma dengan vonis 15 tahun penjara atas tuduhan makar. 

Filep bebas pada 19 November 2015, setelah menjalani masa tahanan selama 11 tahun penjara. Dalam wawancaranya dengan BBC Indonesia seusai bebas, Filep menegaskan tekadnya untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai.

“Papua belum merdeka, berarti perjuangan saya belum selesai. Saya akan terus berjuang sampai Papua merdeka," kata Filep.

Dia mengatakan, untuk mewujudkan tekadnya itu ia siap untuk kembali dipenjara.

"Saya bebas dari penjara sekarang ini, sebetulnya saya masih dalam penjara, yaitu penjara besar Indonesia. Artinya saya masih terkurung dalam negara Indonesia dengan aturan-aturannya yang diskriminatif dan rasialis," tuturnya.

Kekerasan di Papua

Dikutip dari artikel tertanggal 16 November 2011 di laman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, benturan politik di Papua sudah terjadi sejak lama dan telah meluas. Permasalahan itu menjadi kian kompleks dan sulit dicari akarnya.

Peneliti LIPI (kini Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN) Muridan S Widjojo mengatakan, ada empat masalah yang terjadi di Papua.

Pertama, masalah sejarah dan status politik di mana orang Papua merasa status politiknya belum beres dengan Indonesia.

Kedua, konflik yang tidak terselesaikan sejak digelarnya operasi militer pada 1965. LIPI mencatat ada beberapa daftar kekerasan negara dan pelanggaran HAM yang membuat masyarakat Papua semakin sakit hati terhadap Indonesia.

"Luka kolektif terpendam lama. Dan itu di Papua disosialisasikan melalui di honai-honai, dulu kau punya bapak yang disiksa tentara Indonesia. Itu terus ditanamkan," kata Muridan, dikutip dari pemberitaan Media Indonesia.

"Makanya, anak-anak muda sangat radikal dan anti-Indonesia. Jadi, akar masalah kedua kekerasan negara dan pelanggaran HAM yang tidak pernah dipertanggungjawabkan," tutur dia.

Ketiga, adanya stigma terhadap orang Papua, kemudian marginalisasi dengan migrasi, pembangunan yang membuat orang papua tersingkir.

Keempat, kegagalan pembangunan pada bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

"Di papua paling gampang menemukan sekolah SD yang enggak jalan. Satu sekolah gurunya satu. Puskesmas kosong. Negara tidak hadir di bagian-bagian orang Papua membutuhkan," ujarnya.

Di sisi lain, kata Muridan, masih ada tembok ketidakpercayaan antara pemerintah dan masyarakat Papua. (*)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com 

Sumber: Tribun Papua
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved