ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Pemilu 2024

Orang Asli Papua Semakin Sulit Jadi Anggota DPR, Kok Bisa?: Begini Penyebabnya

Intervensi penguasa lokal berpengaruh terhadap keputusan penyelenggara Pemilu dalam penentuan perolehan kursi partai politik maupun seorang caleg.

Ilustrasi tribun-Papua
Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua dinilai berhasil di wilayah paling timur Indonesia ini. Jabatan Gubernur hingga kepala oleh orang asli Papua 

TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA - Peluang orang asli Papua (OAP) menduduki kursi legislator pada Pemilu 2024 semakin sulit.

Selain jumlah calon legislatif OAP minim, persaingan politik dan modal dengan warga non-Papua menuju kursi DPR Papua juga cukup jomplang.

Menurut politikus senior Papua, Paskalis Kossay, ada 14 daerah menjadi minoritas OAP dalam komposisi keanggotaan DPRD.

Hal itu dia sampaikan berdasarkan hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019.

Paskalis membeberkan rekapitulasi perbandingan perolehan kursi antara OAP dan non-Papua pada hasil Pemilu 2019.

Baca juga: PDI Perjuangan Berani kepada Budiman Sudjatmiko, Tetapi Tidak kepada Gibran!

Adapun rincian caleg pada 14 kabupaten/kota pada Pemilu 2019 di Papua antara lain:

  1. Kabupaten Sarmi, dari jumlah 20 kursi, OAP 7 orang, dan non OAP 13 orang.
  2. Kabupaten Boven Digoel, dari 20 kursi, OAP 6 orang dan non OAP 14 orang.
  3. Kabupaten Asmat, dari 25 kursi, OAP 11 orang dan non OAP 14 orang.
  4. Kabupaten Mimika, dari 35 kursi, OAP 17 orang dan non OAP 18 orang.
  5. Kabupaten FakFak, dari 20 kursi, OAP 8 orang dan non OAP 12 orang.
  6. Kabupaten Raja Ampat, dari 20 kursi, OAP 9 orang dan non OAP 11 orang.
  7. Kota Sorong, dari 30 kursi, OAP 6 orang dan non OAP 24 orang.
  8. Kabupaten Teluk Wondama, dari 20 kursi, OAP 11 orang dan non OAP 14 orang.
  9. Kabupaten Merauke, dari 30 kursi, OAP 3 orang dan non OAP 27 orang.
  10. Kabupaten Sorong Selatan, dari 20 kursi, OAP 3 orang dan non OAP 17 orang.
  11. Kabupaten Sorong, dari 25 kursi, OAP 7 orang dan non OAP 18 orang.
  12. Kota Jayapura, dari 40 kursi, OAP 13 orang dan non OAP 27 orang.
  13. Kabupaten Keerom, dari 20 kursi, OAP 7 orang dan non OAP 13 orang.
  14. Kabupaten Jayapura, dari 25 kursi, OAP 7 orang dan non OAP 18 orang.
Politisi senior Papua, Paskalis Kossay.
Politisi senior Papua, Paskalis Kossay. (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Merunut data di atas, kata Paskalis, menunjukkan adanya tren oenurunan jumlah OAP dalam perolehan kursi di DPRD kabupaten/kota.

Hal ini disebabkan jumlah pemilihnya heterogen.

Data tersebut menarik untuk dicermati, sekaligus bahan pemetaan faktor apa saja yang mempengaruhi kecenderungan penurunan perolehan kursi legislatif oleh OAP.

"Faktor pertama, adalah jumlah orang asli Papua semakin minoritas, sehingga berkorelasi lurus pada penurunan perolehan suara calon anggota legislatif daerah," ujar Paskalis kepada Tribun-Papua.com, Kamis (02/11/2023).

Faktor kedua, kata mantan anggota DPR RI itu, status sosial ekonomi turut mempengaruhi minimnya perolehan suara bagi calon anggota legislatif OAP.

"Dari aspek ekonomi, pada umumnya OAP hidup dalam kategori ekonomi konsumtif, sementara politik sekarang dibutuhkan biaya besar," katanya.

Adapun faktor ketiga, terdapat intervensi penguasa lokal dan penyelenggara Pemilu.

Akibatnya, berpengaruh terhadap keputusan pleno penyelenggara Pemilu dalam penentuan perolehan kursi partai politik maupun seorang caleg.

"Penyelenggara mudah menggonta-ganti atau mengalihkan perolehan suara sesuai deal-deal politik dengan penguasa lokal di daerah," ungkapnya.

"Cara-cara begini jelas, posisi caleg orang asli Papua lemah. Caleg yang dekat dengan penguasa lokal pasti diperhitungkan mendapat posisi di DPRD," sambung Paskalis.

Semua faktor dimaksud secara langsung maupun tidak langsung mengeleminasi eksistensi posisi politik orang asli Papua di lembaga legislatif.

Baca juga: Gibran Rakabuming, Kaesang dan Slogan PSI: Jokowi Is Me Langkah Pembusukan Politik

"Kehadiran orang asli Papua di lembaga legistatif semakin tersisih, sehingga warna legislatif lebih dominan dikuasai oleh orang non-Papua," katanya.

Politisi senior Partai Golkar itu menambahkan, fakta saat ini terkesan kurang berimbang dengan konteks hak-hak dasar kesulungan orang asli Papua sebagaimana amanat UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

"Seharusnya Otsus Papua memberikan ruang dan kewenangan khusus bagi orang asli papua untuk mengurus dan mengatur kepentingannya sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua," pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Papua
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved