ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Sejarah Papua

TOBATI - Matahari Terbit

Suku Tobati mendiami pesisir Teluk Youtefa seluas 1.675 ha yang termasuk di wilayah distrik Jayapura Selatan dan membangun pemukiman diatas laut.

Penulis: Roy Ratumakin | Editor: Roy Ratumakin
Tribun-Papua.com/Istimewa
Suku Tobati (atau disebut juga Tobati-Enggros; dikenal juga sebagai Youtefa Tobati) adalah kelompok etnis yang mendiami Kota Jayapura, Indonesia. 

TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA - Kota Jayapura didiami oleh empat suku besar. Empat suku besar tersebut yaitu Suku Tobati, Kayu Pulau, Kayu Batu, Nafri, dan Skouw.

Tribunners, kali ini kita akan membahas peradapan satu di antara suku besar di Kota Jayapura.

Satu di antara suku tersebut yaitu, Suku Tobati.

Baca juga: ABEPURA: Hollandia-Binnen

Suku Tobati (atau disebut juga Tobati-Enggros; dikenal juga sebagai Youtefa Tobati) adalah kelompok etnis yang mendiami Kota Jayapura, Indonesia.

Suku Tobati mendiami pesisir Teluk Youtefa seluas 1.675 ha yang termasuk di wilayah distrik Jayapura Selatan dan membangun pemukiman diatas laut.

 

 

Hingga kini, permukiman suku Tobati di sekitaran Teluk Youtefa umumnya dibangun di atas permukaan laut yang persis dibangun dekat ke darat.

 

Etimologi

Dikutip dari laman wikipedia, kata Tobati memiliki asal kata yang sama dengan Tabi yang berarti "matahari terbit".

Kampung ini dipercaya didirikan oleh 'saudara matahari' sehingga bernama Tabati yang kemudian hari disebut Tobati.

Menurut sumber lain, nama Tobati berasal dari to artinya perintah Sultan dan bati yang artinya batas, artinya batas kekuasan Sultan Tidore sampai di Pulau Tobati ini.

Baca juga: HISTORI Benteng Fort Du Bus di Papua

Sejarah

Suku Tobati adalah penduduk asli Kota Jayapura yang menjadi penghuni pertama di kawasan itu.

Suku ini dikenal juga sebagai suku Tobati-Enggros.

Tetapi, terkadang Enggros juga dianggap sebagai suku tersendiri, tetapi masih memiliki hubungan dekat dengan Tobati.

Selain dari suku Tobati, di Kota Jayapura juga terdapat suku asli lainnya, yakni suku Kayu Pulau, Kayu Batu, Nafri, Skouw, dan Sentani.

Sedangkan menurut sumber lain, nama Tanjung Hamadi berasal dari seorang keturunan Sultan Jailolo bernama Ahmadi yang melarikan diri dari perang di Maluku sampai wilayah Jayapura dan kawin dengan perempuan setempat, sehingga namanya yang kemudian lambat laun disebut menjadi Hamadi dijadikan fam oleh keturunannya.

Baca juga: DAUN BUNGKUS ala Papua

Adat Istiadat

Suku Tobati seperti suku-suku lain di Teluk Youtefa memiliki sistem kepemimpinan politik tradisional yang dipimpin oleh seorang ondoafi (pemimpin atau kepala kampung), sebuah jabatan yang diwarisi secara turun-menurun.

Pada masa penginjil Bilt mulai melayani di wilayah tersebut, rakyat dipimpin oleh kepala suku yang bernama Jantewai.

Karena Jantewai meninggal anaknya yang bernama Hamadi diangkat menjadi ondoafi.

Hingga saat ini suku (marga) Hamadi masih menjabat ondoafi suku Tobati yang membawahi beberapa kepala marga/suku lain seperti Itaar, Afaar, Hanasbey, Mano, Ireeuw, Hasor, Merauje, Merahabia, Caay, Hanoeby, dan Dawir.

 

 

Arsitektur

Gaya arsitektur suku Tobati mirip dengan gaya arsitektur dari suku di pesisir utara Papua lainnya. Misalnya pada bentuk bangunan, dimana pada posisi atap bangunan umumnya berbentuk limas atau kerucut, demikian juga halnya dengan bangunan-bangunan lama suku Tobati berbentuk limas.

 

Sway

Tempat hunian sehari-hari suku Tobati disebut dengan rumah Sway.

Rumah Sway hampir sama dengan rumah adat Kariwari, yang membedakan adalah pada pembagian atau fungsi dari ruangan-ruangannya.

Hal ini dilakukan sebagai pengembangan dari bentuk bangunan rumah adat sehingga rumah adat dan rumah tempat tinggal bisa dibedakan namun masih menjadi bangunan khas suku Tobati.

Untuk pembagian setiap ruangan di rumah Sway terdiri dari ruang tamu, ruang tidur dan ruang makan.

 

Kariwari

Rumah adat suku Tobati disebut Kariwari atau rumah mau.

Rumah adat dengan tinggi 20-30 meter ini dikhususkan bagi laki-laki berusia 12 tahun keatas, sekaligus juga difungsikan sebagai tempat upacara adat, serta tempat untuk mendidik anak laki-laki dalam mencari nafkah dan juga cara bertahan hidup.

Seperti cara memahat, membuat senjata, cara membuat perahu, dan cara berperang.

Bentuk dari bangunan ini sendiri berbentuk segi empat atau juga segi delapan menyerupai limas dengan pembagiannya terdiri dari 3 lantai utama yakni bagian kaki (lantai 1), bagian badan (lantai 2), dan bagian kepala (lantai 3).

Lantai 1 digunakan sebagai tempat untuk mendidik anak laki-laki. Lantai 2 difungsikan sebagai ruang kepala suku dan ruang pertemuan dan tempat istirahat laki-laki. Sedangkan lantai 3 digunakan untuk tempat berdoa.

Bentuk bangunan segi delapan ini dibuat supaya bangunan dapat menahan jika terjadi hembusan angin yang kuat.

Sedangkan untuk bentuk atap yang kerucut, dalam adat Tobati agar mereka bisa lebih dekat dengan leluhur mereka.

Bagian lantai terbuat dari lapisan kulit kayu, kemudian dinding bangunan dibuat dari cacahan pohon bambu, dan untuk atap dibentuk dari daun sagu. (*)

Sumber: Tribun Papua
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved