ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Papua Terkini

KONFLIK Lahan Adat di Papua, Bos BLN Grub Dilaporkan ke Polisi

Alvares Guarino mengatakan perusakan hutan adat tersebut saat Desember 2023, dari pihak BLN ingin usaha di tanah Papua dengan membuka tambang emas.

Penulis: Roy Ratumakin | Editor: Roy Ratumakin
EMANUEL GOBAY for Kompas.com
ILUSTRASI - Warga Kampung Oyengsi, Distrik Nimblong, saat patroli melihat kayu yang diduga ditebang secara ilegal di kawasan hutan adat Fwam Bu, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua. 

TRIBUN-PAPUA.COM - Bos perusahaan Bahana Lintas Nusantara (BLN) Grup, Nicholas Nyoto Prasetyo Dononagoro dan Supriyono, akhirnya melapor ke Polres Salatiga.

Laporan tersebut atas dugaan adanya penganiayaan dan intimidasi akibat konflik pengelolaan lahan adat di Provinsi Papua.

Baca juga: Jalan Holtekamp Jayapura Kerap Dipalang, Frans Pekey: Ganti Rugi Lahan Adat Itu Urusan Pemprov Papua

Pengacara keduanya, Muhammad Sofyan mengatakan, laporan atas nama Supriyono sudah memasuki tahap penyelidikan. Sementara untuk Nicholas, saat ini bersifat aduan.

"Klien kami sudah dimintai keterangan oleh penyidik Polres Salatiga. Kami berharap dengan adanya laporan ini ada perlindungan dan keadilan dari negara untuk klien kami," ujarnya, Minggu (24/6/2024) sore di Laras Asri Hotel Salatiga.

 

 

Sofyan menegaskan bahwa saat ini pihaknya fokus pada kejadian di Salatiga. Salah satunya terkait adanya penggerudukan di kediaman Nicholas.

"Ini soal dugaan tindak pidana terkait insiden di Salatiga, kalau di Papua sudah ditangani pihak lain yang berwenang," ungkapnya.

Sofyan kembali menegaskan, bahwa kliennya adalah investor sehingga adanya penggerudukan ke rumah pribadi dan meminta kompensasi adalah salah alamat.

Baca juga: BERITA POPULER Warga Probolinggo Ditembak OPM, Festival Danau Sentani, dan Hutan Adat Papua Dirampas

"Klien kami adalah investor yang bertujuan mendanai pekerjaan pengerjaan tambang dengan tujuan berimbas positif kepada masyarakat," terangnya.

"Persoalan di Papua terkait proyek tambang emas, menjadi ranah di daerah Papua, yang sekarang sedang diselesaikan oleh pelaksana proyek, yakni ormas Barisan Merah Putih (BMP) Papua," kata Sofyan.

Sementara rekan Sofyan, Al Ghozali mengatakan telah menerima surat keterangan dari ormas Barisan Merah Putih, yang juga ketua Majelis Papua, sebagai pemberi otoritas pertambangan emas di wilayah Sawe Suma.

"Mereka juga merupakan pelaksana yang menjalin kontrak dengan pemilik tanah atau warga lokal. Kami juga sudah didatangi kuasa hukum pemilik lahan yakni Petrus Wekang dan telah mengklarifikasi proses yang ada. Jadi yang mendatangi rumah klien kami di Jalan Merdeka Salatiga itu tidak ada kaitannya dengan persoalan tambang emas di Papua,'' paparnya.

Baca juga: AKHIRNYA Menteri KLHK Proses Status Hutan Adat di Boven Digoel Papua Selatan setelah Kasusnya Viral

Terpisah, Plt Kasat Reskrim Polres Salatiga Iptu Junia Rakhma Putri mengatakan laporan terkait kejadian tersebut masih didalami oleh penyidik. "Masih pendalaman pengumpulan bukti dan saksi," ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, puluhan warga Papua mendatangi rumah Nicholas Nyoto Prasetyo Dononagoro, pemilik perusahaan Bahana Lintas Nusantara (BLN) Grup di Salatiga.

Mereka menuntut kompensasi atas kerusakan hutan adat akibat dari rencana pembukaan tambang emas di Kampung Sawe Suma, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Lawyer warga Papua, Alvares Guarino mengatakan perusakan hutan adat tersebut saat Desember 2023, dari pihak BLN ingin usaha di tanah Papua dengan membuka tambang emas.

 

 

Setelah melalui serangkaian survei dan pembicaraan dengan ketua adat, pada 20 Februari 2024 terjadi kerjas ama sistem bagi hasil, bukan babat hutan.

"Selain itu ada pembayaran kompensasi setelah dua atau tiga hari sejak perjanjian, namun sampai saat ini, janji tersebut tidak pernah terealisasi," kata Alvares.

"Setiap ada penagihan, selalu buntu. Bahkan orang yang dipercaya di lapangan nama Supri dan Max mengatakan menunggu dari bos Nico yang di Salatiga, itu rekaman dan keterlibatannya ada bukti," jelasnya.

Karena upaya penagihan tidak membuahkan hasil, beberapa perwakilan warga pun datang ke Salatiga.

"Mereka sudah tiga hari disini menunggu kepastian, kepala suku mempertanyakan hutan yang sudah dibabat tanpa izin. Sekarang banjir dan longsor mengancam tanah mereka," jelasnya. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved