Aksi Massa di Senayan
Demonstrasi Meletus di Senayan, 'Raja Jawa' Bungkam Setelah Kepentingan Anaknya Tak Terwujud
Jokowi sempat menerima Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco, yang disebut-sebut melaporkan belum dilakukannya Sidang Paripurna RUU Pilkada.
Kendati mengaku tak sempat membahas masalah unjuk rasa terkait revisi UU Pilkada, Yahya mengatakan, aspirasi rakyat harus didengar lembaga-lembaga politik seperti DPR.
”Kami sendiri, NU, tentu mendukung semua pandangan yang pada dasarnya membela kepentingan-kepentingan nyata dari rakyat banyak, dan juga mengarah kepada perbaikan sistem demokrasi kita. Nah mudah-mudahan ke depan ini bisa diwujudkan melalui kerja sama komunikasi yang harmonis, check balances yang obyektif di antara cabang-cabang kekuasaan negara ini,” katanya.

Sorotan Internasional
Sementara itu, kecaman atas pembahasan RUU Pilkada dalam waktu singkat dan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi terus bermunculan dari kalangan akademisi.
Sivitas akademika Universitas Paramadina, Jakarta, menyatakan menolak keputusan DPR yang mengabaikan Putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dan penghitungan syarat usia calon kepala daerah.
Hal ini dinilai berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dan krisis konstitusi.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia juga menilai revisi UU Pilkada cacat prosedural dan hanya memilih substansi aturan yang sesuai dengan kepentingan para elite penguasa.
Karena itu, Presiden dan DPR disebut mengangkangi konstitusi dan mengkhianati kedaulatan rakyat demi meningkatkan akumulasi kekuasaan dan konsolidasi elite politik.
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Selandia Baru pun menyampaikan kecaman serupa.
Mereka menyampaikan kecaman atas segala bentuk pelanggaran konstitusi, akumulasi kekuasaan yang berlebihan, dan pengabaikan terhadap aspirasi publik.

Istana juga tak memberikan tanggapan terkait tagar darurat demokrasi yang beredar di media sosial usai revisi UU Pilkada.
Menurut Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan, tak masalah jika gerakan darurat demokrasi tersebut juga menjadi sorotan internasional.
”Ya, kenapa kita harus takut disorot? Maksudnya itu perkembangan yang berkembang di Indonesia. Ada perbedaan pendapat, ada penyampai ekspresi, kita hormati saja. Enggak usah khawatir dengan itu. Kita juga enggak khawatir dengan itu,” kata Hasan. (*)
Berita ini dioptimasi dari Kompas.id, silakan berlangganan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.