Konflik bersenjata di Papua
Viktor Yeimo : Konflik Bersenjata di Papua Dipelihara Oleh Elit Untuk Meraup Keuntungan
Strategi konflik berkepanjangan ini disebut low intensity conflict—konflik berskala kecil yang dibiarkan berlarut-larut demi keuntungan jangka panjang
Penulis: Noel Iman Untung Wenda | Editor: Marius Frisson Yewun
Laporan Wartawan Tribun-Papua.com,Noel Iman Untung Wenda
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA – Papua masih dililit konflik berkepanjangan. Namun, alih-alih diselesaikan, konflik ini justru seolah dipelihara. Pernyataan tajam datang dari juru bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo, yang menyebut Papua sebagai “ATM Jakarta” - sumber pemasukan bagi elite militer dan intelijen Indonesia.
Victor Yeimo melalui siaran persnya kepada Tribun-Papua.com, Selasa, (3/6/2025) mengatakan, konflik di Papua bukan sekadar masalah keamanan, melainkan telah menjadi ladang ekonomi-politik bagi aparat negara.
Baca juga: Lalu Lintas Penumpang di Bandara Sentani Jayapura Turun 13 persen Jelang Idul Adha
“Perang bukan diarahkan untuk kemenangan, tapi untuk kelangsungan. Ini konflik yang dikelola,” katanya.
Militerisasi dan Ekonomi Konflik
Setiap tahun, dana triliunan rupiah dari APBN digelontorkan untuk operasi keamanan di Papua. Dalam kajian ekonomi politik, praktik ini dikenal sebagai militarized rent-seeking—situasi di mana militer mengambil keuntungan dari konflik, bukan menyelesaikannya.
Baca juga: Dandim Biak: Kalau Ada Anggota yang Masih Main Judi, Berhenti Sekarang
“Ancaman dijual, dana diminta, lalu dibangun jaringan bisnis di atas penderitaan rakyat Papua,” ujar Yeimo. Strategi konflik berkepanjangan ini disebut low intensity conflict—konflik berskala kecil yang dibiarkan berlarut-larut demi keuntungan jangka panjang.
Akibatnya, desa-desa dikosongkan, sekolah ditutup, dan trauma menjadi warisan bagi generasi muda Papua. Semua itu, menurut Yeimo, justru dijadikan alasan untuk memperbanyak kehadiran militer.
Baca juga: PPNI Papua Minta Pemkab Biak Numfor Fasilitasi Sarpras Untuk Perawat Daerah Terpencil
Konflik yang Dikelola, Bukan Diselesaikan
Yeimo menyebut praktik ini sebagai managed conflict, di mana perang dijaga agar tetap hidup demi mengalirkan dana dan memperpanjang legitimasi operasi militer. “Papua dijadikan arena konflik abadi. Bukan karena tidak ada solusi, tetapi karena konflik itu sendiri adalah solusi bagi elite di Jakarta,” katanya.
Baca juga: Daya Beli Masyarakat Papua Anjlok, Saga Group Pertahankan Harga Barang demi Konsumen
Dalam konteks fourth generation warfare—konsep strategi perang modern—militer tak lagi sekadar penjaga kedaulatan, tapi telah menjadi aktor ekonomi dan politik. Pos-pos militer, menurutnya, lebih berfungsi mengamankan eksploitasi sumber daya ketimbang melindungi masyarakat.
Dibandingkan dengan Luar Negeri
Yeimo membandingkan konflik Papua dengan strategi geopolitik negara besar seperti Amerika Serikat, yang menciptakan konflik di Irak atau Afghanistan untuk mendongkrak industri militernya. Di Papua, pola serupa muncul dalam versi domestik: narasi separatis diproduksi, lalu dijadikan dalih untuk menarik dana negara.
Baca juga: Satgas Ops Damai Cartenz Fokus Kejar 11 Narapidana KKB yang Kabur Dari Lapas Nabire
“Ini military Keynesianism dalam versi kolonial Indonesia,” tegasnya.
Perlawanan Sebagai Respons, Bukan Pilihan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.