Papua Terkini
Dewan Gereja Papua-STTWPJ Gelar Festival Literasi: Refleksi Pelanggaran HAM-Rasisme di Tanah Papua
Festival literasi dan resiliensi ini digelar karena banyak persoalan yang muncul di tengah masyarakat seperti situasi HAM, rasisme yang begitu kuat.
Penulis: Putri Nurjannah Kurita | Editor: Paul Manahara Tambunan
Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Putri Nurjannah Kurita
TRIBUN-PAPUA.COM, SENTANI - Dewan Gereja Papua (DGP) bersama Pusat Studi HAM, Sosial, dan Pastoral Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura (STTWPJ) akan menyelenggarakan Festival Literasi dan Resiliensi pada 19-21 November 2025, di Aula Gereja Katolik Paroki Kristus Terang Dunia, Waena, Kota Jayapura.
Dewan Gereja Papua, Pendeta Benny Giay mengatakan, festival yang diselenggarakan dalam konteks bahwa pemerintah secara sistematis membesar-besarkan separatisme terjadi di Papua.
Pendeta Benny mengatakan, dimulai dengan terjadinya jual beli senjata dan amunisi antar aparat dan TPNPB, tak ada penyelesaian empat akar masalah yang ditemukan oleh peneliti dari Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), nihilnya penyelesaian masalah rasisme di 2019 silam, serta pengiriman secara masif pasukan di Tanah Papua.
"Ini sesuatu yang berat bagi kami. Tidak selesaikan masalah rasisme, orang Papua ini dinilai kelas rendahan. Persoalannya ini bagaimana konkretnya, dari LIPI menemukan akar persoalan, orang Papua dijadikan bingkai sampai disingkirkan, termasuk mau jadikan orang Papua 'kopi-susu'," ujarnya dalam jumpa pers di Kampus STT Walter Pos Jayapura, Pos VII Sentani, Distrik Sentani, Senin (17/11/2025).
Baca juga: Teddy Wakum dan Dina Danomira Ungkap Ancaman terhadap Hutan Papua di COP30 Brasil
Pendeta Benny mengatakan, LIPI telah menemukan akar persoalan masalah Papua tahun 2008.
Waktu itu, Dewan Gereja Papua setuju bahwa persoalan akan diselesaikan.
Namun menurutnya, pemerintah Indonesia mengeklaim bahwa akar persoalan itu adalah pembangunan.
Menurut Benny, pembangunan tak bisa menyelesaikan akar masalah di Papua.
"Akar soal yang ditemukan oleh kami percaya tetapi tidak diselesaikan, apa agenda di balik itu, dia [pemerintah] mau tanah [milik orang Papua] tetapi tidak manusianya," kata Pendeta Giay.
Kemudian, aksi protes rasisme yang terjadi, bukannya menangkap orang yang sebarkan rasis waktu itu, malah menangkap orang Papua yang melakukan protes sebagai kasus makar.
"Mereka juga mengirim pasukan secara massif' di Tanah Papua sampai hari ini. Kami kira DOM [Daerah Operasi Militer] sudah dihapuskan tetapi ini cara-cara memelihara bara api untuk dijadikan alasan operasi-operasi," katanya.
Pendeta Benny mengatakan, dalam Festival Literasi dan Resiliensi, menurutnya resiliensi yakni orang Papua harus bangkit untuk melahirkan generasi yang berpendidikan.
"Kalau hancur, bangkit, lagi, jangan mati dalam satu serangan kalau bisa bangkit lagi, tidak harus berperang tetapi urus anak-anak dengan baik, mendapatkan pendidikan yang baik," katanya.
Ketua Pusat Studi HAM, Sosial dan Pastoral STTWPJ Hendrica Henny Ohoitimur mengatakan, festival literasi dan resiliensi ini digelar karena banyak persoalan yang muncul di tengah masyarakat seperti situasi HAM, rasisme yang begitu kuat.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/papua/foto/bank/originals/PAPUA-Dewan-Gereja-Papua-Pendeta-Benny-Gia.jpg)