Nasional
MA Beri Karpet Merah Bagi Para Koruptor
Peneliti ICW Wana Alamsyah menyebutkan, putusan MA tersebut semakin melemahkan agenda pemberantasan korupsi.
Putusan MA bermula dari permohonan uji materi PP 99/2012 terhadap Undang-Undang (UU) No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, diajukan oleh lima narapidana Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Klas IA, Bandung.
Pemohon menilai empat pasal dalam PP 99/2012 bertentangan dengan UU Pemasyarakatan.
MA memiliki sejumlah alasan dalam mengabulkan uji materi itu.
Baca juga: PPP Papua: Rekomendasi Cawagub Masih Menunggu Keputusan Pusat
Pertama, pemidanaan dengan memenjarakan tak hanya dilakukan untuk memberi efek jera, tetapi harus sejalan dengan prinsip restorative justice.
Kedua, MA menilai narapidana adalah subyek yang sama dengan manusia lainnya, yang berarti sangat mungkin berbuat khilaf.
Maka, yang mesti diberantas bukan narapidananya, melainkan faktor-faktor penyebab tindak pidana itu terjadi.
Ketiga, persyaratan mendapatkan remisi tidak boleh dibeda-bedakan. Jika tidak, dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan.
MA juga meminta agar syarat pemberian remisi di luar syarat pokok, semestinya menjadi hak remisi di luar hak hukum yang telah diberikan.
Terakhir, MA memandang bahwa pemberian remisi merupakan kewenangan lembaga pemasyarakatan (lapas).
Baca juga: Madura United di Zona Degradasi, Rahmad Darmawan Undur Diri
Bukan lagi kejahatan luar biasa
Wana menilai, akibat putusan itu, korupsi tak lagi dinilai sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
Sebab, berdasarkan latar belakang dan dampaknya, tindak pidana korupsi membawa sejumlah kerugian ketimbang tindak pidana umum lainnya.
“Padahal, korupsi menyebabkan kemiskinan, kerugian negara, dan lain sebagainya,” ucapnya.
Wana mengungkapkan, putusan MA ini mendegradasi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ia berpandangan, putusan ini akan semakin memudahkan koruptor untuk mendapatkan remisi, padahal selama ini tren vonis terbilang ringan.