ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Nasional

Korbannya Bertambah 21 Santriwati, Saatnya Hukuman Kebiri bagi Herry Wiryawan?

Korban rudapaksa guru pesantren Herry Wiryawan kini bertambah. Usulan Herry Wiryawan diberi hukuman kebiri pun muncul.

Kolase (Istimewa dan Tribunjabar.id/Cipta Permana)
Korban rudapaksa guru pesantren Herry Wiryawan kini bertambah. Usulan Herry Wiryawan diberi hukuman kebiri pun muncul. 

Sebab, korban berhak mendapatkan perlindungan identitas diri atau privasi demi menghindari dampak-dampak buruk lainnya.

Di samping itu, Nahar juga menuturkan Kemen PPPA berharap ada langkah pencegahan yang serius dari semua pihak, baik dari pengelola lembaga pendidikan maupun melibatkan pengawasan orangtua dan pihak-pihak lainnya.

“Kami juga mengharapkan orang tua turut mengawasi anaknya yang ditempatkan di lembaga pengasuhan atau pendidikan dan membangun komunikasi yang intens dengan anak sebagai bagian dari tanggung jawab pengasuhan yang tidak boleh dilepaskan begitu saja kepada lembaga tersebut,” ujar Nahar.

Selain itu, Nahar meminta kepada lembaga pengasuhan atau pesantren wajib memberikan orientasi kepada peserta didik untuk melindungi dirinya dari segala bentuk tindak kekerasan dan memiliki akses untuk melaporkan segala bentuk perlakuan yang diterima.

Pilu Orangtua Santriwati Korban Rudapaksa Guru Pesantren

Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari Gunawan, menyaksikan pilunya momen pertemuan para orangtua santri dari Garut yang anaknya menjadi korban perkosaan gurunya di Cibiru, Bandung, Jawa Barat.

Diah mengaku merasakan betul rasa kecewa, marah, dan perasaan yang berkecamuk dari para orangtua.

"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia 4 bulan oleh anaknya, enggak, semuanya nangis," kata Diah dilansir dari Kompas.com, Jumat (10/12/2021).

Baca juga: Harun Masiku Hilang 2 Tahun, Jokowi: Aparat Kejar Buronan Pelaku Korupsi

Bagaimana tidak, orangtua yang kebanyakan dari keluarga menengah ke bawah itu sebelumnya menaruh harapan besar anak-ankanya menuntut ilmu di pesantren, ternyata telah memiliki anak setelah dicabuli guru ngajinya yang mereka percayai sebelumnya.

Kata Diah, selain berat menerima kenyataan anaknya jadi korban, para orangtua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya. Bagaimana lingkungan tempat tinggal anak yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.

"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.

Peristiwa pilu itu terjadi saat dirinya mengawal pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya di kantor P2TP2A Bandung, setelah dibawa keluar dari lingkungan pondok pesantren oleh penyidik Polda Jabar.

Kondisi yang sama, menurut Diah, juga terjadi di kantor P2TP2A Garut. Saat para orangtua yang tidak tahu anaknya menjadi korban pencabulan guru ngajinya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya. Sebelum kemudian mereka dipertemukan pertama kali di kantor P2TP2A Bandung dan dibawa ke P2TP2A Garut.

Menurut Diah, kasus tersebut sangat-sangat menguras emosi semua pihak, terlebih saat dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orangtuanya yang dilakukan tim psikolog P2TP2A.

Baca juga: Komnas HAM Dampingi 98 Pengungsi Kembali ke Kampung Kisor Maybrat 

"Sama, kita semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita paham bagaimana marah dan kecewanya orangtua mereka," katanya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved