Sosok
Cerita Martinus Mandosir, 32 Tahun Mengajar Anak-anak di Pelosok Papua
Pria kelahiran 24 Oktober 1949 itu memiliki perjalanan panjang dalam mencerdaskan anak bangsa di Papua
Penulis: Calvin Louis Erari | Editor: Gratianus Silas Anderson Abaa
Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Calvin Louis Erari
TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA – Mengabdi sebagai guru di pedalaman Papua bukanlah hal mudah.
Inilah kisah Martinus Mandosir.
Pria kelahiran 24 Oktober 1949 itu memiliki perjalanan panjang dalam mencerdaskan anak bangsa di Papua.
Perjalanan Martinus dimulai dari tempat kelahariannya, di Kampung Sowek, Kabupaten Supiori, Provinsi Papua.
Baca juga: PPKM Level 3 di Kota Jayapura, BTM: Februari ini, Siswa Kembali Belajar dari Rumah
Sejak lulus Sekolah Guru B (SGB) YPPK Ifar pada 1970, Martinus mendapat tugas perdananya di wilayah paling timur Indonesia, Merauke.
Di Merauke pun, Martinus tak mendapat penempatan di wilayah kota, sebaliknya di pedalaman Merauke.
Martinus ditempatkan di SD YPK Domande, Kampung Domande, Merauke.
Baca juga: Universitas Pertahanan Indonesia akan Hadir di Skouw Papua
"Waktu ke Merauke, saya pakai pesawat Dakota dari Jayapura, untuk harga tiketnya saya sudah lupa, tapi cukup mahal saat itu," ucap pria 74 tahun kepada Tribun-Papua.com, di Jayapura, Jumat (4/02/2022).
Setibanya di Bandara Mopah Merauke, Martinus melangkahkan kakinya menuju Kampung Domande menyusuri bibir pantai.
Sejauh 116 kilometer merupakan jarak tempuh dari Bandara Mopah, menyusuri Pantai Lampu Satu, hingga Kampung Domande.
Tak cukup 1x24 bagi Martinus menyelesaikan perjalanannya.
Baca juga: Bukan Hal Baru, Sejak Awal Pandemi Covid-19 Hampir 2 Tahun Siswa Belajar Daring di Rumah
"Saya jalan kaki ikut pesisir pantai itu selama 2 hari ke Kampung Domande," kisahnya.
Martinus mendedikasikan pengetahuannya di bidang pendidikan bagi para peserta didik SD YPK Kampung Domande, sebelum akhirnya kembali ke Biak.
“Jadi setelah mengajar di Merauke, saya kembali ke Biak, sebelum kemudian melanjutkan pendidikan lagi,” jelasnya.
Martinus lanjutkan sekolahnya di Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama PGSLP pada 1973 di Jayapura hingga dinyatakan lulus.
Martinus kemudian ditempatkan untuk mengajar di Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja-gereja Injili (YPPGI) Tanah Papua, di Kampung Harapan, Sentani, Kabupaten Jayapura.
Baca juga: Ini Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Daring Bagi Siswa
Tak berselang lama, muncul keberanian untuk menantang dirinya sendiri.
Hal ini dilakukan dengan memberanikan diri mendaftar di Kantor Wilayah Kementerian Pendidikan, agar diangkat menjadi guru SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) atau sekarang lebih dikenal dengan SMP (Sekolah Menengah Pertama).
Usai diangkat menjadi guru SMP, pada 1975, Martinus dibawa pesawat Cessna menuju Tiom, Lanny Jaya untuk mengajar.
Tepatnya di SMP YPPGI Tiom menjadi rumah barunya.
"Waktu itu ada 3 kelas, berisikan 70 siswa di masing-masing kelas. Tempat duduk terbuat dari kayu buah nibun pohon, dan sebuah papan tulis,” katanya.
Dengan segala keterbatasan tak mematahkan semangatnya untuk tetap mengajar.
Martinus mengaku menjalani hidup sederhana selama di Tiom.
Bahkan, Ia sulit secara konsumsi.
Pasalnya, beras baru dapat Ia terima setiap 3 bulan. Oleh karenanya, dirinya mesti ekstra irit dalam mengonsumsi bahan pangan nasional tersebut.
Ketika tak ada sebutir beras pun yang tersisa, Martinus tetap bertahan hidup dengan ubi-ubian dari warga setempat.
"Jadi kalau tidak ada beras, saya hanya bertahan dengan ubi. Kalau mau makan nasi, saya ditemani anak-anak murid dan berjalan selama 2 hari naik-turun gunung ke Wamena untuk mengambil beras," jelasnya.
Selama 7 tahun Martinus mengajar di Tiom. Dari total 3 guru, termasuk dirinya, yang mengajar di Tiom, pada akhirnya tinggal dirinya sendiri yang bertahan di sana.
“Pada 1981 itu saya dipindahkan dari Tiom ke Bokondini, Tolikara. Tepatnya saya mengajar di SMP YPPGI Bokondini,” terangnya.
Mendapat kabar pemindahannya tersebut, Martinus bermodalkan kakinya menuju Bokondini.
Perjalannya membutuhkan waktu 2 hari.
Berbeda seperti di Merauke, di mana Martinus berjalan menyusuri bibir pantai.
Kali ini, dirinya diperhadapkan dengan gelapnya hutan, lereng, perbukitan, lembah, jurang, hingga mendaki- menuruni gunung.
“Kalau sudah malam, saya tidur di bawah akar pohon yang besar sampai pagi, sebelum melanjutkan perjalanan lagi hingga di Bokindini," jelasnya.
Setelah tiba di Bokindini, kata Martinus, dirinya tidak menunggu lama dan langsung jalan ke setiap honai, rumah adat masyarakat, untuk memanggil semua murid kembali bersekolah.
"Siapapun yang mau datang untuk belajar, silahkan. Dan saya mengajar di sana selama 6 tahun. Saat itu saya aktifkan 3 kelas, dan saya sendiri yang mengajar," ungkapnya.
Dalam 6 tahun itu, kesulitan yang dihadapi masihlah sama, yakni beras untuk konsumsi.
"Jadi kalau mau makan nasi, terpaksa saya bersama anak-anak murid jalan kaki ke Wamena selama 2 hari 2 malam lagi untuk ambil beras," tambahnya.
Setelah 7 tahun di Tiom dan 6 tahun di Bokondini, pada 1986 Martinus turun gunung.
Ia mendapat surat mutasi untuk melanjutkan profesi mengajarnya di SMP YPPGI Sentani, Kabupaten Jayapura, selama beberapa tahun.
“Dari situ, saya dipindahkan lagi ke SMP Negeri Koya Kota Jayapura. Saya mengajar cukup lama di sana, sekiranya 7 tahun sebelum akhirnya pindah lagi dan sekaligus menutup perjalanan karier saya sebagai pendidik di SMP Negeri 2 Jayapura pada 2009,” pungkasnya.
Sejak tahun 1970 hingga pensiun pada 2009, dari Merauke, Tiom Lanny Jaya, Bokondini Tolikara, hingga Kota Jayapura, menjadi perjalanan panjang Martinus.
Dalam perjalanannya itu Martinus telah mengajar di 1 SD dan 5 SMP, serta pula mengajar di yayasan.
Itu tak lain merupakan panggilannya dalam mencerdaskan anak-anak di Papua. (*)