Budaya
Polele Persatukan Perbedaan Agama, Suku dan Ras Hingga Saling Memaafkan
Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat punya beragam budaya unik dan tidak ada di daerah lainnya di bumi cenderawasih
Penulis: Aldi Bimantara | Editor: Maickel Karundeng
Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Aldi Bimantara
TRIBUN-PAPUA.COM, FAKFAK - Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat punya beragam budaya unik dan tidak ada di daerah lainnya di bumi cenderawasih tapi juga di tanah air.
Beragam budaya itu turun-temurun diwariskan. Salah satu di antaranya tradisi Polele yang hingga kini masih dipertahankan di Kampung Sekban, Distrik Pariwari, Kabupaten Fakfak.
Tradisi Polele biasanya dilakoni saat hari ketiga perayaan Idulfitri 1443 hijriah, menandakan seremoni bermaaf-maafan sebelum lebaran berakhir.
Baca juga: Ini Program Prioritas Bupati Jayapura Mathius Awoitauw Diakhir Masa Jabatan
Hari itu, Rabu (4/5/2022) tradisi Polele digelar, kaum lekaki memegang hadrat ditangan lalu menabuhnya. Terdengar lagu-lagu dari kaum perempuan dan anak-anak sambil bergoyang sembari memegang dedaunan ditangan.
Sepertinya mereka telah berada didepan salah satu pintu rumah warga yang hendak dikunjungi. Kala itu, meriah lantaran dua tahun lamanya vakum akibat badai Covid-19 melanda Indonesia, termasuk Fakfak.
Tokoh Masyarakat Kampung Sekban La Jamhadin mengatakan, tradisi Polele telah mengakar kuat di Fakfak. Awalnya, masyarakat Banda Maluku yang membawa masuk Polele ke Fakfak pada 1988.
Baca juga: Akhiri Masa Jabatan Bupati Sarmi, Masyarakat Usulkan Kriteria Karateker ke Gubernur dan Mendagri
Konon, saat itu sebagian dari mereka (masyarakat Banda Maluku) mengungsi ke Fakfak lantaran Gunung Api Banda meletus di 9 Mei 1988.
"Tradisi ini sudah ada dari kitong (kita) punya nenek moyang, saat mereka mengungsi dari Banda Neira Maluku pada tahun 1988 karena ada bencana gunung api meletus," kata La Jamhadin.
Seiring berjalannya waktu, tradisi Polele diperkenalkan kepada warga asli Fakfak, maka terjadilah asimilasi budaya antara Fakfak dan Banda Maluku.
Baca juga: Dorong Sosok Karateker Bupati Jayapura, Mathius : Penuhi Syarat dan Tidak Perlu Adaptasi
Saat itu, masyarakat Fakfak terbuka, ramah dan mau menerima Polele. Hingga kini, tradisi Polele turun- temurun diwariskan oleh suku-suku yang berdomisili di kota julukan pala itu.
"Masyarakat Fakfak kala itu menurut cerita dari leluhur kami, sangat terbuka dan ramah terhadap budaya dari luar dan akhirnya menerima tradisi Polele, bahkan terbukti hingga kini mampu bertahan di tengah perkembangan zaman,"ujar La Jamhadin.
Menurut La Jamhadin, tradisi Polele di Banda Maluku yang diadopsi di Fakfak, perbedaanya tak terlalu mencolok.
Baca juga: Gustav: Polresta Jayapura Kota Tugaskan 9 Personel Setiap Pospol
"Hanya saja memang mungkin dari sisi makanan yang disajikan berbeda, ada kue-kue ataupun jamuan makanan yang berbeda, namun makna dan esensinya tetap sama,"katanya.
Makna Polele dan Panitia
Makna dari tradisi Polele secara umum ialah untuk membina kerukunan antar umat muslim, khususnya di Kampung Sekban, agar lebih akrab.
"Mungkin dalam perjalanan setahun, ada yang berselisih paham dan baku marah maka momen Polele saat lebaran hari ketiga dimanfaatkan betul untuk saling memberikan maaf satu dengan lainnya,"ujar La Jamhadin.
Baca juga: Timnas U-23 Indonesia Telan Kekalahan pada Laga Perdana Lawan Vietnam di SEA Games 2021
Polele juga tak hanya sekadar tradisi belaka, namun lebih dari itu memiliki peran untuk merukunkan keluarga yang sedang bertikai, atau membina kerukunan antar umat beragama.
"Dari awal masuk ke Fakfak, Polele ini sudah berkembang, berbeda dengan yang ada di Banda Maluku, di Fakfak sini Polele lebih bergeser, sudah dijadikan sebagai bentuk toleransi antar umat beragama, tak hanya warga muslim yang ikut tetapi juga warga non muslim,"katanya.
Pengurusan Polele setiap lebaran tak terlalu diatur dalam struktur kepanitiaan, lebih pada warga berembuk dan bermusyawarah sebelum Polele dilangsungkan.
Baca juga: Tinjau Pasar Pagi di Intan Jaya, Kasatgas Binmas dan Olvah Alhamid Buru Buah dan Sayur
"Para tetua-tetua adat di Kampung Sekban biasanya langsung memegang kendali, dan membagi tugas kepada para anak-anak muda yang memukul hadrat, ibu-ibu dan remaja perempuan yang memegang dedaunan saat tabuhan hadrat, dan semua orang yang melatunkan salawatan,"ujarnya.
Musik yang diputar mengiringi perjalanan ialah musik-musik religi islami, namun mengikuti perkembangan zaman, lagu-lagu kekinian anak muda juga dinyanyikan atau diputarkan.
Hari ketiga Lebaran tiap tahun, tradisi Polele dilakukan. Awalnya berkumpul di salah satu rumah sebagai titik start atau memulai perjalanan. Rumah itu sudah disepakati bersama.
Baca juga: Ridwan Kamil: Kalau 14 Hari setelah Lebaran Kasus Covid-19 Tetap Landai, Berarti Sudah Endemi
Setelah semua peserta yang terdiri dari anak muda, ibu-ibu dan bapak-bapak, hingga anak muda yang sudah punya pasangan alias pacaran berkumpul, lalu mulai berjalan dari rumah ke rumah.
Kunjungan ke Rumah-Rumah
Tak ada batasan rumah yang dikunjungi dalam perayaan tradisi Polele. Namun, rumah yang akan didatangi apabila salah satu penghuni rumah itu mengikuti Polele dengan jalan bersama. Perjalanan diringi dengan lagu-lagu nuansa muslim dan tabuhan hadrat.
Saat tiba didepan pintu rumah, tim penabuh hadrat yang dipegang oleh lak-laki menabuh hadrat kencang dan melantunkan salawat nabi. Peserta yang terlibat jumlahnya puluhan lebih.
Baca juga: Update Virus Corona di Papua dan Papua Barat hingga Jumat 6 Mei 2022: Total Kasus Capai 79.914
Tuan rumah akan mempersilahkan rombongan Polele masuk dan menjamu mereka dengan makanan dan minuman, termasuk kue khas Fakfak, yakni Kue Lontar dan Asida yang disediakan.
Tak hanya itu, tuan rumah juga biasanya memberikan uang saweran atau biasa disebut dengan "uang jalan" kepada pemimpin Polele.
Kemudian, satu per satu peserta Polele bergantian bersalam-salaman dengan tuan rumah, sembari mengungkapkan harapan baik. Misalnya ucapannya "semoga kalian umur panjang dan bisa berjumpa di lebaran di tahun depan."
Baca juga: Telan Dana Rp 79 M, Jalan Perbatasan RI-Timor Leste Rusak, Warga: Belum Dinikmati Malah Sudah Hancur
Ada juga peserta Polele yang menanyakan kepada tuan rumah, kabar dari salah satu sanak famili yang mungkin saja sedang merantau jauh di luar kota dan belum berkesempatan pulang. Suasana kekeluargaan kental dalam perayaan Polele.
Rasa kekeluargaan dalam kebersamaan sangat kental, terlihat dalam momentum Polele yang dirayakan tersebut. Tradisi Polele tak hanya diikuti oleh umat muslim, warga non muslim juga terlibat dalam tradisi ini.
Baca juga: Link Live Streaming Vietnam Vs Timnas U-23 Indonesia di SEA Games 2021, Malam Ini Pukul 19.00 WIB
Kebanyakan warga non muslim yang bergabung dalam Polele lama bertetangga dengan warga muslim. Tak hanya menjadi peserta Polele, mereka (warga non muslim) ini banyak memainkan peran, yakni menyediakan makanan dan keperluan Tradisi Polele.

Termasuk ikut dalam kunjungan dan bermaaf-maafan dari rumah ke rumah. Sungguh indah nuansa ini, namun nyaris semua orang memandang Papua tertinggal, termiskin dan terbelakang.
Baca juga: Prakiraan Cuaca 30 Wilayah di Papua Besok Sabtu (7/5/2022): Kota Jayapura Hujan Ringan di Siang Hari
Meski demikian, dibalik pandangan itu, masyarakatnya kaya akan budaya, punya toleransi tinggi terhadap perbedaan sejak dulu.Harusnya, keanekaragaman budaya di Bumi Cenderawasih menjadi kekayaan tersendiri.
Ayo generasi muda sekaligus penerus, mari jaga warisan nenek moyang ini yakni tradisi Polele yang mempersatukan sekat perbedaan, baik agama, ras, maupun suku.(*)