Info Mimika
Pengembangan Pelabuhan Pomako Terkendala Status Lahan, Kejari: Kami Usut Para Mafia Tanah
Hingga kini, pembangunan Pelabuhan Pomako Mimika terhambat lantaran terkendala status lahan.
Penulis: Marselinus Labu Lela | Editor: Maickel Karundeng
Laporan Wartawan Tribun-Ppaua.com, Marselinus Labu Lela
TRIBUN-PAPUA.COM, TIMIKA- Hingga kini, pembangunan Pelabuhan Pomako Mimika terhambat lantaran terkendala status lahan.
Kepala Kejaksaan Negeri Mimika, Sutrisno Margi Utomo menjelaskan lahan tersebut diketahui ada pihak yang mengaku sebagai pemilik tanah membuat pemerintah tak bisa berbuat banyak untuk membangun pelabuhan.
Baca juga: Paspampres Aniaya Sekuriti, Jenderal Andika Perkasa Bereaksi Keras
Padahal, kata dia, lokasi Pelabuhan Pomako saat ini letaknya strategis dan bisa melayani beberapa kabupaten termasuk Mimika dan wilayah pegunungan tengah Papua untuk mengsuplai barang dan sembako menggunakan jasa laut.
Setelah melakukan penyelidikan dan klarifikasi terhadap berbagai pihak, menurut dia, Kejaksaan Negeri Mimika menyatakan adanya permainan mafia tanah di Pelabuhan Pomako hingga menghambat pembangunan.
Dia mengatakan, mafia tanah ini bisa berasal dari pihak banyak pihak yang mengklaim bahwa tanah tersebut milik mereka.
Baca juga: Diduetkan dengan Sandiaga Uno atau Erick Thohir, Eks Ketua Umum Kagama Mantap Lengserkan Jokowi
"Mereka ini apakah pejabat Pemda Mimika, BPN atau pihak lain. Namun tindakan mafia tanah telah merugikan negara yang ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah,"kata Sutrisno Margi Utomo kepada Tribun-Papua.com, Sabtu (11/6/2022)
Lanjut dia, lahan pelabuhan Pomako menjadi salah satu kasus yang ditangani lantaran diduga ada tindak pidana korupsi.
"Jadi pada 23 Oktober tahun 2000 lalu, Pemda Mimika telah membentuk panitia pengadaan tanah termasuk mantan Sekda Mimika, Haurissa untuk pembangunan Pelabuhan Pomako sesuai RT RW,"ujarnya.
Baca juga: Merasa Terintimidasi dari Ormas dan Polisi, ini Pernyataan Sikap Mahasiswa Papua
Hanya saja, lanjut dia, saat itu belum ada jembatan penghubung dan lokasi masih berbentuk hutan.
“Saat itu sudah melakukan pembebasan lahan seluas 5 juta meter persegi atau 500 hektar,”katanya.
Sebelumnya, kawasan tersebut masih berstatus hutan lindung. Tapi untuk kepentingan pembangunan maka Pemkab Mimika mengusulkan penurunan kawasan menjadi area penggunaan lain (APL).
Baca juga: Mahasiswa Papua Ditangkap di Ende, Ketahuan Beli 13 Bibit Ganja dari Spanyol: Ini Dia
Pemkab Mimika bahkan sudah mengeluarkan anggaran senilai Rp6.775.130.000 untuk pembebasan lahan kepada masyarakat Kampung Hiripau selaku hak ulayat sejak 2000 hingga 2008.
"Anggaran tersebut tercatat tapi hingga saat ini belum disertifikatkan. Kami akan cek apakah ada kelalaian atau kesengajaan dari pemerintah,” ujarnya.
Sebenarnya, pembangunan pelabuhan pomako sudah dilakukan lantaran sudah ada alokasi anggaran dari Kementerian Perhubungan. Tetapi tidak terlaksana karena ada pihak yang menguasai lahan.
Baca juga: Dinkes Papua Abdate Cakupan Imunisasi Covid Booster, Berikut Rinciannya
“Yang mengusai lahan tersebut katanya boleh dibangun tapi bayar dulu uang ke kami,”kata Sutrisno.
Menurut dia, pembayaran ke pihak tersebut jelas tidak mungkin dilakukan lagi karena lahan tersebut adalah milik pemerintah daerah yang sudah dibebaskan seluas 500 hektar.
Meskipun ada orang mengklaim sudah memiliki sertifikat hak milik dan sertifikat hak guna bangunan.
Penerbitan dan kepemilikan sertifikat hak milik dan sertifikat hak guna bangunan di atas lahan milik pemerintah merupakan sebuah pelanggaran hukum.
Baca juga: Status Honorer Bakal Dihapus Tahun Depan, Papua Barat akan Kebanjiran Pengangguran
“Penerbitan sertifikat itu diduga telah terjadi tindak pidana korupsi mengakibatkan hilangnya aset tanah Pemda Mimika di lokasi Pelabuhan Pomako,"ujarnya.
"Padahal ini kepentingan strategis nasional,”katanya.
Dugaan mafia tanah di Pelabuhan Pomako setelah diterbitkannya sertifikat tanah, katanya, maka akan dijual ke Pemkab Mimika dengan harga lebih mahal.
"Ini hal serius menyangkut mafia tanah. Siapapun di belakang akan kita proses,"tambah dia. (*)