ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Info Jayapura

Hutan Mangrove di TWA Teluk Youtefa Dibabat dan Ditimbun Karang, Ulah Siapa?

Pembabatan hutan bakau dan penimbunan secara masif dilakukan di kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Youtefa.

|
Editor: Roy Ratumakin
Tribun-Papua.com/Istimewa
Aktivitas penimbunan karang di kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Youtefa. Lokasi tersebut tepatnya dibelakang Pantai Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Papua. 

TRIBUN-PAPUA.COM, JAYAPURA – Pembabatan hutan bakau dan penimbunan secara masif dilakukan di kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Youtefa.

Lokasi tersebut tepatnya dibelakang Pantai Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Papua.

Kawasan Hutan bakau yang seharusnya dilindungi oleh Negara berdasarkan undang-undangan, namun kini terancam hilang.

Baca juga: DEMONSTRASI: Perempuan Adat Port Numbay Tolak Penimbunan Hutan Mangrove di Pantai Hamadi

Papan larangan yang dipasang disana, betuliskan KAWASAN KONSERVASI TWA TELUK YOUTEFA, DILARANG MENGUBAH BENTANG ALAM di KAWASAN INI, lengkap dengan Undang-udang dan pasal yang mengaturnya.

UU No.5 tahun 1999, pasal 33 ayat 3 dan saknsinya di Pasal 40 ayat 2 seolah hanya symbol saja, tanpa ada kekuatan hukum yang memaksa.

Kenyataanya, hutan bakau di kawasan tersebut tetap dibabat dan ditimbun juga tanpa menghiraukan adanya larangan yang berlogo kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, logo pemerintah dan logo Polri tersebut.

 

 

Apa Daya Jika Pemerintah Tidak Bertindak

Sekadar diketahui, Indonesia memilki 556 kawasan konservasi dan 214 diantaranya masuk dalam kategori Taman Wisata Alam (TWA).

Di Provinsi Papua (sebelum pemekaran provinsi), hanya tiga kabupaten yang memiliki kawasan konservasi dengan status Taman Wisata Alam, yakni TWA Nabire, TWA Pulau Supiori, dan TWA Teluk Youtefa Kota Jayapura.

Teluk Youtefa ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam  berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 372/Kpts/Um/1978 tanggal 9 Juni 1978 dengan luas areal 1.650 ha.

Selama 18 tahun berlalu, luas Teluk Youtefa bertambah menjadi 25 ha sehingga pada medio 1996.

Baca juga: Kisah Peraih Kalpataru dari Papua, Petronela Meraudje: 10 Tahun Mengabdikan Diri di Hutan Mangrove

Teluk Youtefa kemudian ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 714/Kpts-II/1996 tanggal 11 November 1996 dengan luas areal 1.675 ha.

Luasan mangrove di TWA Teluk Youtefa pada tahun 2017 seluas 233,12 ha.

Teluk Youtefa juga menjadi rumah bagi tiga ekosistem pesisir diantaranya: ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang.

Potensi sumberdaya alam lainnya adalah sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan, bilvalvia serta crustacea

Ekosistem mangrove merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat adat pesisir disekitar Teluk Youtefa.

Selain itu, ekosistem mangrove memiliki banyak potensi, berperan penting, dan memiliki keanekaragaman hayati baik dari segi ekologi maupun sosial.

Baca juga: Pemerintah Papua Apresiasi Petronela Meraudje yang Berjuang Lestarikan Hutan Mangrove Teluk Youtefa

Pengelolaan ekosistem mangrove menjadi sangat penting karena merupakan inti dari siklus biologis yang berlangsung di wilayah pesisir, dimana baik manusia maupun kehidupan akuatik bergantung pada ekosistem ini.

Dalam rentang waktu 23 tahun, TWA Teluk Youtefa telah kehilangan sebesar 159,34 hektar Ekosistem mangrove.

Pemerintah dan warga Kota Jayapura harusnya berbangga, memiliki 1 dari 3 TWA di Provinsi Papua.

Untuk itu, sangat disayangkan jika keberadaan TWA ini tidak diseriusi, dijaga dan diselamatkan dari oknum yang mencari keuntungan ekonomi, membabat dan menimbun karang, mengalih fungsikan kawasan ini.

 

11072023-Hutan_Manggrove-2
Aktivitas penimbunan karang di kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Youtefa. Lokasi tersebut tepatnya dibelakang Pantai Hamadi, Distrik Jayapura Selatan, Papua.

 

Sempat Didemo Perempuan Adat Port Numbay

Perempuan Adat Port Numbay melakukan aksi protes menolak penimbunan hutan mangrove di Pantai Hamadi, Jayapura Selatan, Kota Jayapura.

Aksi protes itu dilakukan para perempuan adat dari Kampung Engros dan Tobati dengan memalang sebidang tanah yang berlokasi Pantai Hamadi, Rabu (31/5/2023).

Diketahui, lokasi tanah tersebut merupakan kawasan hutan mangrove milik H Rizal Muin yang saat ini sedang dalam proses penimbunan.

Aksi tersebut dilanjutkan dengan pemasangan papan nama dan baliho bertuliskan "Jangan Rusak Hutan Perempuan karena itu adalah Dapur Kami".

Pemasangan baliho ini sekaligus bentuk protes agar tidak lagi dilanjutkan penimbunan material di kawasan hutan mangrove tersebut.

Baca juga: Kembangkan Wisata Hutan Mangrove di Pomako, Pemkab Mimika Gelontorkan Rp 1 Miliar

"Ini tanah leluhur kami, hutan mangrove ini tidak boleh dirusak karena ini hutan perempuan Papua yang harus dijaga dan dilestarikan," ujar Kordinator Aksi Perempuan Adat Port Numbay, Ema Hamadi, ketika ditemui di lokasi aksi di Pantai Hamadi, Rabu (31/5/2023).

Menurut Ema, pengerusakkan hutan mangrove ini sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan.

Apalagi dunia luar sudah tahu bahwa hutan bakau ini merupakan hutan perempuan Papua sebagai tempat mencari makan dan sebagainya.

"Kami menolak adanya penimbunan hutan mangrove ini, apalagi ini merupakan hutan bakau sebagai tempat bagi kami untuk hidup dan mencari," tutur Ema.

Ema mengaku, tidak punya urusan dengan pemilik lahan, tetapi cara mereka menimbun material tanah dengan merusak hutan bakau ini yang salah.

Hal senada juga disampaikan salah satu Toko Adat Perempuan Port Numbay, Petronela Meraudje, di mana ia merasa prihatin karena hutan mangrove yang ada di sepanjang pantai Hamadi ini sudah mulai dirusak oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

Baca juga: 10 Tahun Konsisten Lindungi Hutan Mangrove di Jayapura, Mama Petronela Merauje Raih Kalpataru 

"Saya melihat bahwa kehidupan kami sebagai perempuan sudah terancam hari in. Apalagi di para- para adat kami tidak bisa berbicara, sehingga saatnya kami harus turun dan bicara," tutur Petronela.

Menurut Petronela, semenjak adanya pembangunan jalan ke Pantai Hamadi seperti pembangunan Ring Road, jembatan merah Youtefa hutan bakau ini sudah banyak yang hilang dan dirusakki akibat dari pembangunan ini.

"Hutan Bakau ini adalah yang tersisa saat ini, jangan lagi kita rusakki lagi dengan mengejar kepentingan pribadi atau penguasa ditanah ini," ujarnya.

Petronela menyampaikan, tidak melihat lokasi tersebut milik siapa dan dari suku mana tetapi lebih pada hutan bakau yang menjadi dapur bagi mereka.

 

 

"Saya berharap agar tidak ada lagi penebangan atau pengerusakkan hutan bakau disekitar areal wisata pantai Hamadi ini. Apalagi ini merupakan areal atau kawasan konservasi yang dilindungi,"tegas Petronela.

Lanjut Petronela, hutan bakau ini mengandung banyak makna, sebagai salah satu sumber ekonomi bagi kaum perempuan.

"Kami berbicara ini untuk kepentingan banyak orang dan juga generasi kami kedepannya. Hutan bakau ini memiliki banyak fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat di Kampung Engros dan Tobati, sehingga harus dijaga dan dilestarikan, bukan dirusakki seperti ini," tambah Petronela.

Seperti diketahui pihak BBKSDA Papua sebelumnya telah memasang papan peringatan untuk tidak mengubah bentangan alam di lokasi tersebut karena merupakan kawasan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Youtefa.

Pada papan yang berukuran kecil itu dimana BKSDA Papua menyampaikan jika daerah tersebut merupakan kawasan konserwasi, sehingga dilarang untuk mengubang bentang alam dikawasan tersebut sesuai dengan peraturan undang-undang nomor 5 tahun 1990. (*)

Sumber: Tribun Papua
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved