ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Lingkungan Hidup

Negara Tolak Gugatan Suku Awyu Menentang Perkebunan Sawit, 39.000 Hektare Hutan Papua 'Dirampas'

Pemimpin warga Woro dari suku Awyu, Hendrikus Woro, kecewa atas uapaya perjuangan demi pencabutan izin perkebunan kelapa sawit di hutan adat mereka.

Tribun-Papua.com/Istimewa
SIDANG - Hendrikus Frangky Woro dari Suku Awyu Papua, memberikan kesaksian dalam sidang kasus pencabutan izin kawasan hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta. (GREENPEACE/MUHAMMAD ADIMAJA) 

Sementara perusahaan asal Malaysia tersebut mengeklaim telah mengantongi bukti penyerahan lahan yang ditandatangi oleh Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Boven Digoel, kepala kampung, kepala adat, dan saksi dari perwakilan Distrik Fofi.

Hanya saja, menurut Sekar, bukti itu sangat aneh dan tidak kuat.

Baca juga: Kasus Penimbunan TWA Hutan Mangrove Teluk Youtefa Berlanjut di Praperadilan

Sebab Lembaga Masyarakat Adat (LMA) tak punya kewenangan untuk meregistrasi tanah.

"Pengukuran tanahnya juga tidak jelas menggunakan metode apa, karena tanah ulayat ini sebetulnya belum ada sertifikatnya atau belum diakui negara sebagai tanah adat," jelas Sekar.

Tak cuma itu, sambungnya, pihak perusahaan pun tak bisa menghadirkan saksi yang menguatkan argumentasi mereka dan hanya mengandalkan dokumen-dokumen.

Itu mengapa Sekar optimistis majelis hakim PTUN Jayapura bakal memenangkan gugatan mereka.

Terlebih karena dalam persidangan kuasa hukum bisa mendatangkan tiga saksi ahli lingkungan hidup dan sejumlah masyarakat adat suku Awyu.

"Makanya kalau besok perusahaan menang akan jadi tanda tanya karena dokumen itu nggak valid," ungkapnya.

"Sangat konyol jika perusahaan menang karena saksi ahli kami semuanya memberikan kejelasan bahwa lahan ini penting untuk ekosistem dan keberlanjutan menghadapi krisis iklim."

Bantah tak sesuai prosedur

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP), Solaiyen Tabuni, membantah proses pembuatan Amdal proyek perkebunan sawit di atas tanah adat suku Awyu tidak sesuai prosedur.

Ia berkata, memang ada sebagian masyarakat yang menolak, tapi ada sebagian yang setuju --itulah kenapa pihak perusahaan, klaimnya, terus melanjutkan proyek tersebut.

"Amdal itu sudah dilakukan melalui prosedur yang tepat, ada persetujuan dari masyarakat makanya surat izin kelayakan keluar," imbuh Solaiyen Tabuni kepada BBC News Indonesia.

Kendati demikian dia menyerahkan sepenuhnya nasib proyek ini ke majelis hakim PTUN Jayapura.

Jika pengadilan memutuskan agar Dinas PMPTSP menunda bahkan menghentikan perkebunan sawit, pihaknya akan melaksanakan.

Dalam gugatan dengan nomor perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR tertanggal 13 Maret 2023, penggugat meminta majelis hakim memerintahkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu menunda pelaksanaan Surat Keputusan Kadis Penanaman Modal Nomor 82 Tahun 202 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit kepada PT IAL.

Penggugat juga meminta majelis hakim memerintahkan Dinas Penanaman Modal membatalkan surat keputusan tersebut dan memerintahkan tergugat menghormati hak-hak masyarakat adat sesuai dengan UU Otonomi Khusus Papua yakni tidak menerbitkan izin baru di kawasan obyek gugatan.

SIDANG - Hendrikus Frangky Woro dari Suku Awyu Papua, memberikan kesaksian dalam sidang kasus pencabutan izin kawasan hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta. (GREENPEACE/MUHAMMAD ADIMAJA)
SIDANG - Hendrikus Frangky Woro dari Suku Awyu Papua, memberikan kesaksian dalam sidang kasus pencabutan izin kawasan hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta. (GREENPEACE/MUHAMMAD ADIMAJA) (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Dampak pembabatan hutan adat

Pemimpin marga Woro dari suku Awyu di Papua, Hendrikus Woro, berkata tanah ulayat itu adalah identitas serta sejarah asal usul mereka.

Di tanah seluas 39.000 hektare tersebut ada belasan marga tinggal.

Khusus untuk marga Woro, jumlahnya mencapai 300-an orang yang terdiri dari 73 kepala keluarga.

Dari hutan itulah, kata Hendrikus, mereka mencukupi kebutuhan hidup dan mendapatkan sumber mata pencaharian yakni dengan mengambil pohon gaharu.

Maka kalau sampai hutan adat dibabat habis, hilanglah sumber pangan mereka.

"Tanah adalah sumber penghidupan kami masyarakat adat. Maka kami tidak mau lingkungan kami dirusak, kami tak mau tempat penting kami hilang..." ujarnya.

"Kami tak mau sumber mata pencaharian kami hilang, kami tak mau sungai rusak."

"Kami masyarakat adat suku Awyu bergantung pada alam, tempat kami tinggal sejak kakek nenek, leluhur kami..."

"Saya jaga hutan, hutan jaga saya."

Baca juga: Pemerintah dan PT PAL Harus Bertanggungbawab ke Masyarakat Adat Kiyura dan Iwaka di Mimika

Hendrikus menegaskan hutan adat ini akan diwariskan untuk generasi mereka yang akan datang.

"Betapa berdosanya kami jika jurang kehancuran itu kita persiapkan bagi generasi yang akan datang?" ucapnya.

Kuasa hukum mereka dari Greenpeace Indonesia sepakat.

Sekar mengatakan dengan membabat hutan seluas 39.000 hektare maka 23 juta ton karbon dioksida akan lepas.

"Dalam konteks narasi litigasi iklim, masyarakat adat Awyu ingin menyelamatkan hutan karena berkontribusi pada dunia. Menjaga dunia tetap stabil dan bisa layak dihuni manusia," jelas Sekar. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Saat Hakim PTUN Jayapura Tolak Gugatan Suku Awyu Papua yang Menentang Perkebunan Sawit",

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved