Sejarah
KOLONIALISME di Papua
Don Jorge de Menetes, pelaut asal Spanyol juga sempat mampir di Papua beberapa tahun kemudian (1526 – 1527), ia tetap menggunakan nama Papua.
Penulis: Roy Ratumakin | Editor: Roy Ratumakin
Pada 24 Agustus 1828 berdirilah benteng Fort Du Bus di Teluk Triton oleh A.J. van Delden atas nama Raja Willem I, sebagai penanda mulainya kolonialisme Belanda di Papua dengan diwujudkannya kerjasama dalam bentuk penandatanganan surat perjanjian dengan tiga raja yaitu Raja Namatota, Kassa (Raja Lahakia) dan Lutu (orang kaya di Lobo dan Pulau Miwara).
Mereka mendapatkan pengakuan sebagai kepala daerah dibawah Sultan Tidore dan tongkat kekuasaannya yang berkepala perak dari Belanda, di mana secara bersamaan juga diangkat 28 kepala daerah bawahannya.
Belanda mengangkat Sultan Tidore sebagai penguasa atas wilayah Papua karena menanggap potensi ekonomi yang kecil, hingga pada tahun 1849, batas wilayah kekuasaan Tidore sudah sampai ke perbatasan modern Indonesia dan Papua Nugini.
Baca juga: Sejarah Organisasi Papua Merdeka dan Peringatan 1 Desember
Tahun 1884, Papua New Guinea dikuasai oleh Inggris, dan pada tahun yang sama, Timur Laut Papua dikuasai oleh Jerman.
Perebutan kekuasaan ini baru berakhir pada 16 Mei 1895 di Den Haag diadakan pertemuan antara Belanda dan Inggris mengenai penetapan batas wilayahnya, dan dikenal sebagai Perjanjian Den Haag (1895), serta termaktub dalam Staatsblaad van Nederlandsch Indie 1895 No. 220 dan 221 tertanggal 16 Mei 1895, di mana garis batasnya adalah Sungai Bensbach.
Sungai ini membagi 2 wilayah yaitu, Papua bagian Barat sebagai wilayah Belanda dan Papua bagian Timur atau dikenal sebagai Papua Nugini sebagai wilayah Inggris. Wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda. Selanjutnya dikenal sebagai Nederlands Nieuw Guinea.
1900–Sampai Sekarang
Setelah mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia, Indonesia mencari dukungan baik secara militer maupun diplomasi.
Beberapa usaha perjuangan diplomasi oleh pihak RI dilakukan melalui Perjanjian Linggarjati pada 1946, Perjanjian Renville pada 1948, dan Perjanjian Roem-Royen pada 1949.
Baca juga: LANGGAR ZONA, Ratusan Baliho Caleg Ditertibkan Bawaslu Merauke Papua Selatan
Pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945, berbeda dengan mayoritas anggota BPUPKI yang menginginkan Indonesia merdeka meliputi seluruh bekas Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Mohammad Hatta tidak setuju, “Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri.
Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta. Lanjutnya “Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya.
Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia,” yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.
| Demam Emas California: Kisah di Balik Penemuan Emas pada 24 Januari 1848 |
|
|---|
| 19 Januari: Perayaan Unik dari Salju hingga Rasa |
|
|---|
| KISAH Martha Christina Tiahahu: Srikandi Maluku yang Mengukir Sejarah dengan Darah dan Air Mata |
|
|---|
| Jejak Kemanusiaan Komodor Yos Sudarso: Ketika Kepahlawanan Berpadu dengan Welas Asih |
|
|---|
| Bak Tarian Politik yang Rumit, Berikut Gejolak Reshuffle Kabinet di Indonesia dari Masa ke Masa |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/papua/foto/bank/originals/09102024-Kolonialisme_di_Papua.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.