ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Opini

Isu Papua Absen dalam Debat Capres 2024

Konflik bersenjata, kesenjangan sosial dan keadilan telah berlangsung beberapa dekade di Tanah Papua.

|
Tribunnews/Irwan Rismawan
Sejumlah mahasiswa dari Aliansi Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan Militerisme Papua melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (22/8/2019). Aksi tersebut sebagai bentuk kecaman atas insiden di Surabaya dan menegaskan masyarakat Papua merupakan manusia yang merdeka. 

Untuk dapat mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan pendekatan holistik yang meliputi seluruh kementerian dan lembaga (K/L) pemerintah (whole-of-government approach).

Kewenangan untuk menjalankan program tersebut hanya berada di tangan presiden selaku kepala pemerintahan.

Kedua, presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan perang harus memiliki keinginan politik yang kuat karena kebijakan tersebut tidak akan datang dengan biaya yang murah.

Pengalokasian sumber daya negara dipastikan sangat tinggi untuk dapat menyelesaikan konflik di Papua.

Perlu adanya pelibatan lebih banyak aktor (K/L) guna melakukan pembangunan fisik dan non fisik di wilayah paling timur Indonesia.

Dinamika agenda politik ke depan yang tidak menentu dan semakin kompleks, membutuhkan komitmen yang tinggi untuk memastikan bahwa penyelesaian konflik Papua tetap berada dalam daftar prioritas pemerintah.

Terlebih lagi, isu Papua erat kaitannya dengan geopolitik negara di kawasan Pasifik. Sepanjang 2016 hingga 2021, Melanesian Spearhead Group (MSG, aliansi sub regional Pasifik) secara kontinyu membawa isu Papua dalam forum Majelis Umum PBB.

Tentu, hal ini menjadi pertimbangan lain yang perlu dimasukkan dalam perhitungan resolusi.

Ketiga, konflik Papua dapat menjelma menjadi lebih kompleks jika tidak segera ditemukan solusinya dalam rentang waktu ke depan.

Kondisi status quo menunjukkan kemampuan militer dan diplomasi kelompok separatis telah mengalami kemajuan. Pembangunan jaringan simpatisan di luar negeri merupakan salah satu pertanda.

Persenjataan dan taktik militer yang digunakan memberikan sinyal yang sama.

Jika dulu aparat keamanan menjadi korban akibat melakukan pengejaran, maka sekarang tendensi berubah dengan sifat kelompok separatis yang aktif mendatangi aparat keamanan untuk mendapatkan keuntungan personel dan materiil.

Jika dulu kelompok separatis hanya bergerilya, maka kali ini aktivitas serangan telah mengarah kepada terorisme yang mengancam keselamatan non-kombatan, yaitu warga sipil.

Namun demikian, sampai dengan saat ini, kelompok-kelompok yang ada di Papua belum terorganisir ke dalam satu wadah politik yang sama dan masih bersifat terpecah-pecah.

Setiap kelompok memiliki kepentingannya masing-masing.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved