ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Kerusuhan di Papua

Sebut Pola Pikir Pemerintah Terlalu Kaku soal Papua, Usman Hamid: Seolah Tak Ada Ruang untuk Dialog

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan pemerintah terlalu kaku dalam melihat Papua.

Penulis: Astini Mega Sari | Editor: mohamad yoenus
(YouTube/Najwa Shihab)
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat berpendapat di Mata Najwa edisi Rabu (4/9/2019). 

TRIBUNPAPUA.COM - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan pemerintah terlalu kaku dalam melihat Papua.

Hal itu diungkapkan Usman saat menjadi narasumber di Mata Najwa edisi Rabu (4/9/2019).

"Kalau soal dialog, sejak era Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) itu memang ada semacam keengganan untk meletakkan dialog secara setara," ujar Usman, seperti dikutip TribunPapua.com dari channel YouTube Najwa Shihab, Kamis (5/9/2019).

"Makanya Presiden SBY ketika itu menggunakan istilah komunikasi konstruktif. Karena waktu itu Pak SBY enggan diletakkan secara sejajar dengan Papua."

Cerita Mahfud MD soal Gus Dur dan Matahari Terbit Pertama pada 2001 di Papua: Pendekatan dari Hati

Saat Wiranto Minta Najwa Shihab Tak Asal Tuduh Pemerintah Terkesan Tutupi Informasi soal Rusuh Papua

Hal itu, menurut Usman, justru bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh masayarakat Papua.

"Persis di situ justru bertentangan dengan dibayangkan oleh orang Papua," ucap Usman.

"Orang Papua justru ingin disetarakan, diperlakukan dalam persamaan derajat."

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat berpendapat di Mata Najwa edisi Rabu (4/9/2019).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat berpendapat di Mata Najwa edisi Rabu (4/9/2019). (YouTube/Najwa Shihab)

Ia menilai pemerintah pusat memiliki pola pikir yang kaku dalam melihat Papua.

Ia mencotohkannya dengan retorika NKRI Harga Mati.

Sebut Persoalan Papua adalah Rasa Tak Percaya, Alissa Wahid Kritik Pendekatan oleh Pemerintah

"Nah ini sebenarnya kendala dalam pola pikir Jakarta (pemerintah pusat-red) yang terlalu kaku di dalam melihat pandangan politik," jelas Usman.

"Sebagai contoh, tadi kita sudah dengar kan NKRI harga mati. Seolah-olah tidak ada ruang dialog sama sekali," sambung dia.

Usman lalu menyinggung soal dialog yang dilakukan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dulu.

"Padahal itu kan bisa dibicarakan. Aceh juga begitu. Dulu benderanya pun akhirnya disahkan," tutur Usman.

Usman kemudian menyebutkan bahwa inti dari dialog untuk masalah Papua adalah meletakkan orang Papua dalam penghormatan harkat dan martabat.

Polri Sebut Kegiatan Masyarakat di Papua dan Papua Barat Sudah Mulai Normal Pasca-kerusuhan

"Sebenarnya inti dari dialog-dialog itu adalah ingin meletakkan orang Papua dalam penghormatan harkat dan martabat," ucapnya.

"Retorika dari Jakarta, narasi dari Jakarta hanya NKRI itu, persatuan dalam konteks yang kaku."

"Padahal sebelum kita sampai pada persatuan Indonesia, kita harus bicara lebih dulu prikemanusian yang adil dan beradab yaitu penyelesaian pelanggaran kasus-kasus hak asasi manusia."

"Ini yang enggak mau dibicarakan sebelumnya."

Menanggapi itu, anggota Komisi II DPR Komarudin Watubun berharap dalam dialog, harus dilepaskan slogan-slogan dari masing-masing pihak.

Alissa Wahid: Buat Gus Dur yang Salah adalah Jakarta Bukan Papua

"Kalau kita mau berdialog, kita tinggalkan dulu pikiran Papua merdeka harga mati, NKRI harga mati, lama-lama dua-duanya mati harga," ucap Komarudin.

"Jadi harus kita tempatkan, Papua diperjuangkan dari dulu oleh tokoh agama itu untuk menjadi tanah damai bagi semua orang, dan orang benegara juga punya tujuan yang sama untuk itu," imbuhnya.

Usman kemudian menambahi bahwa membela NKRI adalah mengembalikan ruh berepublik.

Yakni dengan menjaga sendi-sendi kemanusiaan.

"Jadi membela NKRI itu bukan membela slogan atau integritas wilayah, tapi membela sendi-sendi dasar berepublik yaitu prikemanusiaan.

Blokir Dibuka, 29 Kabupaten di Papua dan Papua Barat Akhirnya Bisa Kembali Akses Internet

Lihat videonya berikut ini:

Penjelasan Wiranto soal Sejumlah Isu terkait Papua

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menjawab sejumlah isu terkait Papua dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (3/9/2019) kemarin.

Ia menampik tudingan bahwa Pemerintah Indonesia menganaktirikan Papua dan Papua Barat.

Menurut Wiranto, tudingan tersebut dilontarkan tokoh separatis Papua, Benny Wenda yang diduga mendalangi kerusuhan di Papua dan Papua Barat.

Berikut penjelasan Wiranto terkait sejumlah tudingan yang beredar, seperti yang dilansir oleh KOMPAS.com:

Penjelasan Wiranto terkait Sejumlah Tudingan soal Papua, dari Pelanggaran HAM hingga Referendum

1. Tuduhan pelanggaran HAM

Menurut Wiranto, berdasarkan data awal, ada 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua.

Namun, setelah dilakukan penyortiran, tersisa 3 kasus, yaitu Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014).

Sementara itu, menurut Wiranto, kasus lainnya telah selesai melalui jalur pidana.

Wiranto pun membantah adanya keengganan pemerintah untuk menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di Papua.

2. Tudingan tak adil dalam pembangunan

Terkait tudingan tersebut, Wiranto berpendapat bahwa salah satu fokus pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah membangun daerah pinggiran, termasuk kawasan Papua.

"Sejak Presiden Jokowi itu diangkat menjadi presiden, maka salah satu orientasi adalah bagaimana membangun daerah pinggiran termasuk Papua dan Papua Barat," ujar dia.

Mahfud MD Sebut Kibarkan Bendera Bintang Kejora Tak Boleh Sembarangan: Kaitkan dengan Tujuannya

Menurut Wiranto, pemerintah telah hadir dalam pembangunan Papua, baik infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan manusia.

Ia juga menyebut pembangunan ini telah memperlihatkan hasil, salah satunya terjadi peningkatan indeks pembangunan manusia untuk wilayah Papua dan Papua Barat.

Di Papua, indeks pembangunan manusia pada tahun 2016 sebesar 58,05 persen, kemudian meningkat menjadi 60,06 persen pada tahun 2018.

Sementara itu, pada 2016, menurut Wiranto, indeks pembangunan manusia di Papua tercatat 62,21 poin dan meningkat menjadi 63,74 pada 2018.

3. Wacana referendum

Wiranto mengatakan, hukum internasional sudah tak memberi ruang bagi Papua dan Papua Barat untuk menyuarakan referendum.

Di ILC, Mamat Alkatiri Sebut Orang Papua Sudah Balas Kebaikan Jokowi dengan Hal Ini

Sebab, menurut dia, referendum dalam hukum internasional bukan bagi wilayah yang sudah merdeka.

"Kalau bicara referendum, maka sebenarnya hukum internasional sudah tak ada lagi tempat, tidak relevan lagi, untuk Papua, Papua Barat, suarakan referendum. Sebab, dalam hukum internasional, referendum itu bukan untuk wilayah yang sudah merdeka," ucap dia.

Wiranto menyebut, Papua sudah pernah menggelar referendum.

Ia mengacu pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua tahun 1969.

Wiranto mengatakan bahwa referendum tersebut secara sah menyatakan Papua adalah bagian Indonesia.

Hasil Pepera juga sudah disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Resolusi 2505, 19 November 1969.

Rizal Ramli Singgung Sikap Gus Dur di ILC dan Analogikan Papua seperti Anak Kandung yang Ingin Pergi

4. Kekerasan

Wiranto mengungkapkan bahwa aksi anarkistis tahun ini bukan yang pertama kalinya.

Ia mencontohkan, pembobolan gudang senjata Kodim Wamena 2003, unjuk rasa Uncen Abepura tahun 2006, Kongres Rakyat Papua III 2011, dan Paniai 2014.

Maka dari itu, ia meminta agar masyarakat belajar dari kejadian masa lalu dan tidak menggunakan tindakan anarkistis lagi.

(TribunPapua.com)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved