ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Peluncuran Buku

Pengabdian 48 Tahun Paul Sudiyo di Pedalaman Papua: Berawal Tertarik Tawaran Gaji 20 Kali Lipat

Sekarang ini banyak orang sulit untuk menempatkan dirinya melayani masyarakat sendiri dan memilih tinggal di kota dengan berbagai alasan

|
Penulis: Putri Nurjannah Kurita | Editor: M Choiruman
Tribun-Papua.com
PELUNCURAN BUKU - Foto bersama peluncuran dan Bedah Buku berjudul 'Kisah Kasih di Tanah Papua' di Hotel Grand Abe, Kota Jayapura, Provinsi Papua.  
Ringkasan Berita:
  • Paul Sudiyo merupakan lulusan terbaik Institut Pastoral Indonesia.
  • Selama 48 tahun mengabdi di Tanah Papua sebagai pelayan warga di pedalaman Bumi Cenderawasih.
  • Awalnya datang ke Papua bukan untuk melayani orang Papua, tetapi tertarik dengan gaji 20 kali lipat yang ditawarkan untuk bekerja di Papua
 

Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Putri Nurjannah Kurita

TRIBUN-PAPUA.COM, SENTANI - Selama puluhan tahun bertugas di Papua, lulusan terbaik Institut Pastoral Indonesia, Paul Sudiyo meluncurkan buku berjudul 'Kisah Kasih di Tanah Papua' di Hotel Grand Abe, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua akhir pekan tadi.

Baca juga: Perjalanan Penuh Harapan Ibu Sarafia dari Pedalaman Papua Melawan Tumor

Dalam buku berjudul Kisah Kasih di Tanah Papua mengambil tema 'Pengabdian Tanpa Batas Seorang Paul Sudiyo di Tanah Papua' dan dimoderatori Koordinator Penghubung Komisi Yudisial (KY) Papua, Methodius Kossay.

Paul Sudiyo mengabdi di Tanah Papua lebih dari 48 tahun. Bukunya merupakan refleksi mengabdi di Papua sekaligus mengenang istrinya Dokter Irma yang telah meninggal 27 tahun lalu. 

Motivasinya dalam menulis buku ini karena keinginannya begitu kuat bahwa apa yang dilakukannya juga bisa dilakukan oleh orang Papua.

"Sekarang ini banyak orang sulit untuk menempatkan dirinya melayani masyarakat sendiri dan memilih tinggal di kota dengan berbagai alasan yang masuk akal,” kata Paul Sudiyo

Akibatnya banyak masyarakat yang terpinggirkan, ditinggalkan oleh para pelayan kesehatan dan pendidik yang mengejar dunia. 

Baca juga: Guru Kontrak Hidupkan Sekolah Nyaris Mati di Pedalaman Papua Pegunungan

Dalam buku tersebut, bukan hanya cerita dirinya dan istri yang bertahun-tahun di pedalaman dan tidak pernah bertugas di kota, tetapi ada para pendahulu. 

Mereka bukan sebangsa, seperti orang Eropa, yang mengabdikan dirinya dengan sungguh-sungguh sehingga perubahan terjadi dari sangat sulit menjadi sangat berkembang.

Paul Sudiyo mengaku, awalnya datang ke Papua bukan untuk melayani orang Papua, tetapi tertarik dengan gaji 20 kali lipat yang ditawarkan untuk bekerja di Papua.

Baca juga: Pelayan Kecil di Tanah Besar, Cerita Bidan Dian Melayani Masyarakat Pedalaman Papua

"Karena ada uang tahun 1970-an itu menarik sekali gaji 20 kali lebih dari Pulau Jawa. Tetapi ketika datang ke Papua ternyata bebas karya, apa yang digambarkan luar biasa itu tidak ada," ujarnya.

Paul Sudibyo bahkan pernah mengalami yang dia sebut Madesu atau masa depan suram, menurut dia bisa makan tahu dan tempe itu sudah 'bagus'.

"Saya melihat keadaan di Papua membutuhkan orang yang bisa mengasihi," ujarnya.

Baca juga: Suara dari Pedalaman Papua: Legislator Yahukimo Bawa Harapan di Tengah Bayang Konflik Bersenjata

Meskipun dalam proses penulisan buku sempat mandek, namun usei merefleksikan diri, ia menyadari bahwa dalam 20-30 tahun ke depan, akan terjadi perubahan dalam dunia pelayanan.

Buku yang ditulis Paul berisi 231 halaman terbagi dalam beberapa sub judul diantaranya Kisah Kasih di Tanah Papua, Masa Depan Suram (Madesu), Membuka Diri Bagi Allah dan Sesama, Karya di Pedalaman, Pertemuan dengan Panglima OPM di Pegunungan Tengah, Tim Terbang Empat Keuskupan Papua, dan Jalan Kaki Untuk Jenazah.

"Cerita ini tidak runut, karena kamu memilih untuk memisahkan menurut tema dengan harapan setiap pokok mengandung hal-hal yang bisa disharingkan," ujarnya. 

Paul Tidur di Honai

Salah satu penanggap dalam bedah buku, Soleman Itlay, Sekjen Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Papua (ICAKAP), mengatakan, kisah Paul Sudiyo mengubah pandangannya terhadap orang pendatang yang bekerja di Papua.

Baca juga: Sulit Dapat Pendidikan Sejak Kecil, Pemuda Lanny Ini Buka Kelas Literasi Untuk Anak Pedalaman Papua

"Paul tidur di honai. Ini mengubah pandangan anak-anak muda di Katedral di Jayapura yang  menjadi diakon, mencari domba-domba di pengungsian setelah konflik, kemudian melawan perkawinan usia dini, membangun pusat pembinaan kader, pelatihan khusus petugas katekis, mendorong dialog damai, kolaborasi pembangunan kesehatan bersama istri, membawa bayi-bayi ke kampung-kampung sampai mendirikan Yayasan Binterbish," ujarnya Itlay.

Dalam buku ini, kata Itlay, penulis mengajarkan kita tentang bagaimana menjadi seorang Papua itu secara totalitas, bukan setengah hati, tidak juga menjadi munafik. 

Baca juga: Soedanto dan Kisah Dokter Seribu Rupiah, 48 Tahun Melayani Kesehatan Warga Pedalaman Papua

Tak memperalat agama menjadi lahan bisnis, tidak menjadikan kemiskinan atau krisis pendidikan di Tanah Papua program di luar secara diam-diam, serta tidak menjadikan orang Papua sebagai objek. Tetapi, Paul Sudiyo betul-betul melayani dengan hati.

"Jadi bapa punya karya itu membangkitkan saya punya pikiran terhadap orang pendatang yang membuat kita terluka terus, Bapak Paul bukan sekedar orang pendatang, misonaris domestik tetapi martir."

Dalam bedah buku itu juga dihadiri Uskup Jayapura Yanuarius You, Pelaksana Tugas (Plt) Sekertaris Daerah Kabupaten Jayapura Yusuf Yambeyabdi, perwakilan dari Polda Papua, empat orang penanggap, alumni Yayasan (Bina Teruna Indonesia Bumi Cendrawasih) Binterbush, serta ratusan mahasiswa. (*) 

Sumber: Tribun Papua
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved