ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Nasional

Siasat Pemerintah Melawan Putusan MK Belum Berakhir, Dua Surat KPU ke DPR Bocor: Lihat Itu

Rakyat Indonesia juga mencurigai pernyataan DPR RI yang menyatakan membatalkan pengesahan RUU Pilkada dan mengikuti putusan MK tersebut.

Tribun-Papua.com/Kompas
Polisi berjaga-jaga di depan Mahkamah Konstitusi (MK) menyusul kedatangan sejumlah tokoh dan akademisi serta aktivis yang memberi dukungan kepada benteng terakhir demokrasi, Kamis (22/8/2024). KOMPAS/PRIYOMBODO 

”Pengumuman itu menjadi sikap KPU dalam memberlakukan putusan MK. Itu menjadi hukum positif yang harus kita kawal,” ujarnya.

Titi juga meminta masyarakat terus mengawal KPU dalam proses konsultasi dengan DPR. ”Jangan sampai setelah konsultasi, KPU mengubah putusan,” katanya.

Belum tenang

Meskipun KPU telah menegaskan akan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Pilkada 2024, menurut Hadar Nafis Gumay, masyarakat belum bisa tenang.

 Hal itu karena pengalaman masa lalu di mana KPU bisa berubah setelah bertemu dengan DPR.

Ia mencontohkan, KPU pernah menyatakan akan melakukan tindakan afirmatif dengan pemberian kuota 30 persen bagi perempuan dalam Pemilu 2024.

Namun, setelah bertemu DPR, KPU justru mengeluarkan kebijakan yang memundurkan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam bentuk kuota pencalonan 30 persen perempuan di parlemen.

Kebijakan tersebut berisi formula penghitungan keterwakilan perempuan berupa pembulatan ke bawah pada penetapan daftar calon tetap (DCT) pada tiap daerah pemilihan (dapil).

Mahkamah Agung (MA) telah mengoreksi kebijakan tersebut melalui Putusan MA No 24 P/HUM/2023 yang memerintahkan KPU mencabut pasal tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD, UU No 7/1984 tentang Ratifikasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), dan UU Pemilu.

Namun, KPU mengabaikan perintah itu hingga DCT ditetapkan.

”Melanggar undang-undang saja mereka berani karena DPR. Akhirnya diadukan. Di tingkat nasional tidak sesuai 30 persen, dan oleh MK diminta melakukan pemungutan suara ulang,” kata Hadar Nafis Gumay.

Suasana aksi unjuk rasa menolak revisi RUU Pilkada di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024).KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Suasana aksi unjuk rasa menolak revisi RUU Pilkada di depan Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/8/2024).KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN (Tribun-Papua.com/Kompas)

Rendy NS Umboh menambahkan, masih banyaknya masyarakat yang berunjuk rasa menunjukkan adanya ketidakpercayaan mereka terhadap KPU karena rekam jejaknya selama ini.

Namun, masyarakat tetap harus memberi kesempatan kepada KPU untuk membuktikan diri bisa dipercaya.

Baca juga: Bagaimana MK Memutuskan Perubahan Ambang Batas Pencalonan Pilkada? Begini Kronologisnya

”Bukan berarti kita diam saja. Harus tetap kita kawal. Setidaknya dengan adanya pernyataan KPU, kita harus percaya. Kalau tidak percaya, siapa lagi yang bisa kita percaya,” kata Rendy.

Secara administratif, Rendy mendukung langkah KPU untuk berkonsultasi dengan DPR.

Namun, secara substansi, ia mendesak KPU agar mematuhi putusan MK.

”Kita harus mengawal KPU menjalankan putusan MK,” katanya. (*)

Berita ini dioptimasi dari Kompas.id, silakan berlangganan.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved