ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Papua Pegunungan

APBD Papua Pegunungan Mengkhawatirkan: Dicukur Pusat, Daerah Tertekan, DPR Sampaikan Peringatan

DPR Papua Pegunungan menerbitkan peringatan keras pemerintah pusat dan daerah, khususnya terkait pagu APBD 2026 yang hanya Rp1,2 triliun.

Tribun-Papua.com/Noel Wenda
PENGUNGSI - Tampan anak-anak pengungsi saat bermaini di Distrik Melagi  Kabupaten Lanny Jaya, Papua Pegunungan, Kamis (24/10/2025). 

Laporan Wartawan Tribun-papua.com,Noel Iman Untung Wenda

TRIBUN-PAPUA.COM, WAMENA - Tekanan fiskal di Provinsi Papua Pegunungan memasuki fase paling genting sejak daerah ini dimekarkan.

Setelah data nasional menunjukkan provinsi ini sebagai salah satu dengan realisasi APBD terendah, kini DPR Papua Pegunungan menerbitkan peringatan keras untuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya terkait pagu APBD 2026 yang hanya mencapai Rp1,213 triliun.

dari data yang di himpun media ini diberbagai dokumen anggaran, pernyataan pejabat pusat, dan hasil rapat-rapat resmi menunjukkan bahwa krisis keuangan Papua Pegunungan bukan hanya akibat lemahnya administrasi daerah, tetapi juga karena kebijakan rasionalisasi anggaran pemerintah pusat yang dianggap tidak berpihak kepada daerah baru.

Pusat Memangkas, DOB Terpuruk

Sebelumnya, pemerintah pusat telah memangkas sebagian Dana Otonomi Khusus untuk wilayah Papua, termasuk Papua Pegunungan, sebagai bagian dari efisiensi APBN 2025.

Pemotongan mencapai Rp19 miliar, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 29 Tahun 2025. 

Baca juga: DPR Peringatkan Krisis Anggaran: Pagu Papua Pegunungan Tahun Depan Hanya Rp 1,2 Triliun

Dampaknya langsung terasa pada daerah yang 88 persen pendapatannya bergantung pada transfer pusat. Belum lagi persoalan lambatnya penyaluran dana akibat persyaratan administratif.

Wamendagri Ribka Haluk menyebut banyak provinsi di Papua, termasuk Papua Pegunungan, belum memenuhi dokumen pertanggungjawaban yang disyaratkan pusat, sehingga transfer anggaran tersendat.

Sementara itu, Mendagri Tito Karnavian menegaskan bahwa rendahnya realisasi belanja Papua Pegunungan (20,25 persen per Juni 2025) telah menghambat perputaran ekonomi di daerah.

Dalam rapat dengar pendapat bersama Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, BPSDM, Dinas Sosial, RSUD Wamena, serta Biro Otsus dan Kesra, Rabu (19/11/2025), Komisi V DPR Papua Pegunungan menyampaikan alarm keras atas situasi fiskal 2026.

Ketua Komisi V, Ironi Kogoya, secara gamblang menyebut tahun anggaran 2026 sebagai tahun paling kelam bagi Papua Pegunungan.

“Negara memekarkan provinsi ini, tetapi tidak membekali dengan anggaran yang cukup. Dengan hanya Rp1,213 triliun, mustahil membiayai seluruh kegiatan, apalagi pembangunan fisik,” tegas Kogoya.

Pimpinan DPR Provinsi Papua Pegunungan bersama Komisi V dan Dinas Mitra saat melakukan foto bersama usai melakukan, rapat dengar pendapat bersama berbagai mitra kerja di Wamena, Rabu (19/11/2025).
Pimpinan DPR Provinsi Papua Pegunungan bersama Komisi V dan Dinas Mitra saat melakukan foto bersama usai melakukan, rapat dengar pendapat bersama berbagai mitra kerja di Wamena, Rabu (19/11/2025). (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Menurut DPR, pagu tersebut menunjukkan bahwa pemerintah pusat belum serius memberi fondasi fiskal untuk sebuah provinsi baru.

Di sisi lain, daerah sendiri belum mampu menghasilkan PAD memadai yang tahun sebelumnya hanya sekitar 7,7 persen dari total APBD.

Kemandirian Fiskal Nol, Masyarakat Terancam

Komisi V menilai bahwa ketergantungan ekstrem pada pusat telah menempatkan Papua Pegunungan dalam posisi paling rentan secara ekonomi, sosial, dan kelembagaan.

Struktur sosial masyarakat pegunungan yang saling bergantung membuat pejabat daerah sering menjadi tumpuan ekonomi banyak keluarga dan distrik.

Kogoya menggambarkan kondisi ini dengan bahasa yang tajam.

 “Satu pejabat saja bisa jadi harapan satu distrik bahkan kabupaten. Kalau anggaran sekecil ini, bagaimana kami menjamin pembangunan berjalan?,” tegas Ironi, mantan Ketua KNPI Lanny Jaya itu.

Ia melanjutkan kritiknya terhadap ketidakadilan fiskal yang diterima provinsi baru ini,

 “Lucunya, kami hanya dikasih kulit, isinya dimakan entah oleh siapa. Kami bingung mau programkan apa. PAD tidak ada, ketergantungan ke pusat luar biasa besar,” kata Kogoya.

Dari laporan yang di himpun Tribun-papua.com menunjukkan adanya paradoks besar, Pemerintah pusat memekarkan provinsi baru dengan alasan percepatan pembangunan.

Namun, alokasi anggaran yang diberikan tidak mencerminkan kebutuhan dasar untuk membangun pemerintahan provinsi dari nol.

Situasi ini diperparah dengan realisasi anggaran yang rendah, administrasi yang tertinggal, dan kapasitas birokrasi yang belum mapan.

Baca juga: Wamendagri Ribka: Kebijakan Otsus Papua Beri Ruang Masyarakat Hukum Adat terhadap Hak Tanah Ulayat

Dampaknya bukan hanya teknis, tetapi juga sosial dan psikologis, banyak program pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur rawan mandek pada 2026 jika tidak ada penambahan anggaran.

PENGUNGSIAN WARGA - Ribuan warga  mengungsi akibat operasi militer yang dilakukan oleh aparat TNI di wilayah Distrik Melagi, Kabupaten Lanny Jaya, Papua Pegunungan, sejak Minggu (05/10/2025) .
PENGUNGSIAN WARGA - Ribuan warga mengungsi akibat operasi militer yang dilakukan oleh aparat TNI di wilayah Distrik Melagi, Kabupaten Lanny Jaya, Papua Pegunungan, sejak Minggu (05/10/2025) . (Tribun-Papua.com/Noel Wenda)

Upaya Lobi: Harapan Terakhir

Meski kondisi fiskal dianggap paling kelam DPR Papua Pegunungan menyatakan tetap mendukung langkah gubernur untuk melobi tambahan anggaran ke pemerintah pusat.

“Angka Rp1,213 triliun sudah mentok. Tidak ada jalan lain kecuali lobi. Kami DPR siap mendukung, tapi kalau kondisi tetap seperti ini, kami hanya bisa berharap ada keajaiban tahun depan.” katanya.

Maka Ironi  menyimpulkan bahwa, Pemerintah pusat dinilai gagal memberikan dukungan fiskal yang layak bagi DOB, bahkan memangkas anggaran di tengah meningkatnya kebutuhan dasar.

Pemerintah provinsi masih menghadapi masalah administratif dan lemahnya PAD, memperburuk ketergantungan pada pusat.

DPR menganggap 2026 sebagai tahun tersulit, dengan pagu anggaran yang jauh dari cukup untuk memenuhi layanan dasar.

Kondisi ini memperlihatkan bahwa proyek pemekaran Papua, tanpa dukungan fiskal yang kuat, berisiko menciptakan provinsi yang berjalan tanpa bensin: ada kendaraan, ada jalan, tetapi tidak memiliki tenaga untuk melaju. (*)

Sumber: Tribun Papua
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved