ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Konflik di Papua

103.000 Warga Papua Mengungsi, Penyintas Perempuan Bertahan Hidup di Bawah Tekanan Militer 

Sebagai ibu rumah tangga dan orangtua tunggal dari empat orang anaknya, ia bertahan hidup di Wamena dengan cara berkebun.

Tribun-Papua.com/Putri Nurjannah Kurita
PENGUNGSIAN - Kesaksian penyintas dari Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan Yarti Gwijangge (23) sejak 2018 dalam diskusi panel dalam kegiatan Festival Literasi dan Resiliensi yang digelar Dewan Gereja Papua (DGP) bersama Pusat Studi HAM, Sosial, dan Pastoral Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura (STTWPJ) di Aula Gereja Katolik Paroki Kristus Terang Dunia, Waena, Kota Jayapura, Papua. 

Ringkasan Berita:
  • Konflik Paksa Pengungsian: Ribuan warga Papua, termasuk dari Nduga dan Maybrat, mengungsi bertahun-tahun akibat konflik bersenjata.
  • ​Tolak Balik Kampung: Pengungsi menolak kembali karena merasa tidak aman dan trauma, serta kesulitan mendapat layanan kesehatan dan kebutuhan dasar.
  • ​Harapan pada Gereja/NGO: Kurangnya perhatian pemerintah membuat pengungsi kini menaruh harapan besar pada bantuan gereja dan NGO.

 

Laporan Wartawan Tribun-Papua.com, Putri Nurjannah Kurita

TRIBUN-PAPUA.COM, SENTANI - Perempuan penyintas dari Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan Yarti Gwijangge (23) sejak 2018 mengungsi ke Ilekma di Kabupaten Jayawijaya. 

Sebagai ibu rumah tangga dan orangtua tunggal dari empat orang anaknya, ia bertahan hidup di Wamena dengan cara berkebun.

Yarti bersama keluarganya meninggalkan kampung halaman karena perang antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan militer Indonesia atau TNI/Polri. Separuh dari pengungsian, berupaya mendapatkan ketenangan dan kenyamanan di Kabupaten Timika, Kenyam (Ibu Kota Kabupaten Nduga), Wamena (Kabupaten Jayawijaya) dan Kabupaten Lanny Jaya.

Mereka juga melaporkan bahwa warga yang sudah berusia lanjut, lebih memilih tetap tinggal di kampung halaman atau tidak mengungsi, sebab untuk mencapai Wamena, pengungsi harus berjalan kaki dengan jarak tempuh 4 - 5 hari. Dalam pelarian, terkadang mereka harus tidur di hutan belantara.

Baca juga: Polisi Cekal Aktor Tindak Kriminal Berantai yang Meresahkan di Nabire

Di Wamena, Yarti memiliki sebuah rumah yang menampung lima keluarga. Ia turut memenuhi kebutuhan makanan dan pakaian bagi mereka. Di rumah itu juga, Yarti mengumpulkan anak-anak penyintas lain untuk diajarkan membaca dan menulis.

"Saya punya niat, jangan sampai mereka tertinggal oleh pendidikan, saya mengajar mereka membaca dan menulis, jadi ada yang SMP dan SMA [sekolah di Wamena]," ujarnya usai diskusi panel dalam kegiatan Festival Literasi dan Resiliensi yang digelar Dewan Gereja Papua (DGP) bersama Pusat Studi HAM, Sosial, dan Pastoral Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura (STTWPJ) di Aula Gereja Katolik Paroki Kristus Terang Dunia, Waena, Kota Jayapura, Kamis (20/11/2025).

Keinginan untuk Pulang
Yarti sampai saat ini masih mengajar anak-anak di rumahnya. Yarti bercerita pada Desember 2024 lalu, seluruh warga di salah satu distrik di Kabupaten Nduga ikut mengungsi tetapi karena tidak mampu bertahan hidup, sebagian pengungsi meninggal dunia.

"Dalam sehari ada kejadian orang meninggal," katanya. 

Yarti mengungkap, pengungsi merasa tidak aman, mereka membutuhkan makanan, pakaian layak pakai, dan obat ketika sakit. Sementara akses terhadap layanan kesehatan cukup sulit karena warga yang ber-KTP Nduga ditolak jika berobat di Wamena.

Baca juga: PMI Kabupaten Jayapura Targetkan 50 Kantong Darah Setiap Hari

"Tidak bisa ke rumah sakit karena KTP dari Nduga, kalau ke apotik mahal, jadi ada orangtua yang biasa bagi obat ke rumah. Selama 2018, kami ada yang sebagian bisa bertahan dan tidak akhirnya meninggal," ujarnya.

Sementara soal pendidikan, pernah dibuka sekolah darurat di Weneroma, Wamena untuk anak-anak pengungsi tetapi saat ini sekolah itu sudah di tutup. Yarti berharap anak-anak tetap mengenyam pendidikan yang layak supaya tidak tertinggal.

Merindukan Suasana Rumah

Dalam kondisi di pengungsian, Yarti mengakui ia dan keluarganya terkadang merindukan suasana rumah di kampung halaman yang dahulu aman namun terpaksa mereka harus tinggalkan akibat konflik bersenjata. Di sana mereka biasa bekerja kebun dengan bebas dan bisa hidup dengan nyaman. Namun kenangan indah itu sulit didapatkan lagi.

Sumber: Tribun Papua
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved