ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Pemilu 2024

Cerita Elkana Murib dan Ratusan Warga Nduga, Mengungsi ke Wamena Akibat Konflik: Hak Suara Direnggut

Mereka bertahan hidup dengan sedikit sentuhan dari pemerintah. Nestapa mereka tidak berhenti di situ.

Tribun-Papua.com/Istimewa
Elkana Murib, warga dari Distrik Nirkuri, Kabupaten Nduga.(BBC Indonesia) 

Ungkapan kekecewaan juga bergema di wilayah pengungsian lain. Saya menuju salah satu pusat pengungsian warga Nduga di Kampung Sekom, Distrik Muliama, Wamena.

Barisan gunung menemani perjalanan saya untuk bertemu Yabanggal Wandikbo.

Mama tiga anak ini mengungsi pada 2018 dari Nduga ke Lanny Jaya, hingga akhirnya tiba di Sekom empat tahun lalu.

Hal pertama yang diungkapkan oleh Yabanggal saat bertemu saya adalah “Bapak-Bapak yang baik tolong kasih kami pulang ke rumah. Saya cuma ingin itu, mau pulang,“ katanya dengan bahasa Nduga.

Saya terdiam sesaat mendengar itu.

“Saya minta maaf atas kondisi yang Mama alami,“ ujar saya yang kemudian diartikan ke bahasa Nduga oleh seorang warga.

Di sela-sela aktivitasnya membersihkan kebun, Yabanggal yang mengaku pertama kali membangun rumah pengungsi di Sekom merasa sedih karena dia tidak bisa memilih.

Yabanggal bercerita ingin memilih pemimpin yang bisa membawa para pengungsi pulang ke kampung halaman dengan aman.

“Kami punya hak itu sudah diabaikan dan tidak dihargai. Pemilihan di Kenyam tidak tahu pilih siapa, tidak tahu apakah peduli sama kami pengungsi ini atau tidak,“ ujarnya.

Para pengungsi Nduga di Sekom berasal dari beragam wilayah, seperti di antaranya Mapenduma, Yigi, dan Mugi.

Kini terdapat sekitar 67 kepala keluarga yang tinggal di sini.

Seorang pengungsi Broangen Wanikbo yang saya temui juga merasa hak suaranya diabaikan akibat keputusan yang dia sebut sepihak.

“Kami dari ujung pukul sana yang di atas, sampai bawah, tidak memiliki hak memilih, karena TPS tidak ada di sini."

"Suara sudah bawa ke Kenyam. Dan kami pengungsi dimana pun kami tidak memilih,“ kata Broangen dalam bahasa Nduga.

"Surat suara itu tidak sah"

Ketua Kelasis Mugi Gereja KINGMI yang saya temui di Sekom, Pendeta Kones Kogeya menegaskan bahwa suara warga pengungsi digunakan tanpa adanya persetujuan dan musyawarah.

Dengan tegas Kones mengatakan bahwa surat suara itu adalah tidak sah.

“Mereka pergi ke Kenyam, pengungsi tinggal. Mereka hanya cari keuntungan sendiri. Suaranya tidak sah itu,” katanya.

Menurut Kones, pemilu 2024 adalah peristiwa penting bagi para pengungsi untuk memilih pemimpin yang peduli pada nasib mereka. Namun, harapan itu kini menjadi kekecewaan.

Kementerian Sosial, pada tahun 2019, mencatat setidaknya terdapat 2.000 pengungsi yang tersebar di beberapa titik, dari Wamena, Lanny Jaya, hingga Asmat.

Angka ini jauh dibawah data yang dihimpun Tim Solidaritas untuk Nduga, yang mencatat sedikitnya 5.000 warga Nduga yang mengungsi.

Hingga kini belum ada satu data yang akurat mencatat jumlah pengungsi Nduga. Ditarik lebih luas di Papua, menurut data KontraS, jumlah pengungsi internal korban konflik bersenjata telah mencapai lebih dari 60.000 per Desember 2022.

Mereka berasal dari Nduga, Maybrat, Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Yahukimo, dan Kabupaten Puncak.

"Hak suara saya direnggut paksa"

Dari Kampung Sekom saya kembali ke Wamena untuk bertemu warga Nduga Ester Sarahvina Wennay Payage yang kini berusia 17 tahun.

Berbicara tentang konflik bersenjata yang terjadi di kampungnya Nirkuri adalah hal yang memilukan bagi Ester.

Kenangan-kenangan indah masa kecil itu kini sirna.

Satu per satu keluarga yang dia cintai menjadi korban. Dan, kini pulang ke kampung menjadi kerinduan yang sangat mendalam baginya.

“Pengen sekali [pulang]. Mau liat nenek punya kuburan, adik mama punya kuburan, bersihkan halaman rumah saja. Sekarang tidak bisa, mau pulang saja sudah dicegah,“ ujarnya.

Kenangan terakhir akan kampung adalah saat Ester masih berusia 10 tahun.

“Keluarga kita kumpul-kumpul, jemput kami di Bandara Yigi, naik ke Nirkuri di gunung atas. Ramai kita jalan kaki sama-sama ke nenek punya rumah,“ katanya.

Berangkat dari pengalaman pahit itu, Ester begitu ingin menyalurkan suaranya pada pemilu 2024.

Dia ingin memilih calon yang dapat memimpin para pengungsi memperjuangkan hak mereka.

Apalagi, tahun ini menjadi pemilu pertama bagi Ester untuk menyalurkan hak suaranya. Namun, semangat itu berubah jadi amarah karena hak suaranya dia sebut “direnggut paksa“.

“Kami kan warga negara ini. Kami wajib memilih. Tapi kami tidak bisa, kenapa hak-hak kami direnggut paksa satu per satu?” kata Ester yang kini berkuliah mengambil jurusan hukum untuk memperjuangkan hak pengungsi Nduga.

Senada, seorang pemuda Nduga yang merupakan salah satu kordinator pengungsi Nduga tahun 2018, Arim Tabuni mengatakan hak hidup para pengungsi telah dicabut dari kampung halaman, dan kini hak suara mereka pun dirampas.

”Orang sakit pasang infus saja bisa memilih, orang sakit jiwa bisa memilih, tapi kami warga pengungsi Nduga yang sehat kenapa tidak bisa?”

”Di negara lain mereka buat tenda darurat tempat pemilihan untuk pengungsi, tapi negara ini tidak ada,” katanya.

Baca juga: Bawaslu Diminta Tindak Petugas TPS 52 Entrop Jayapura, Hak Suara Warga Tak Diberikan: TPS Siluman?  

Setiap warga negara Indonesia dilindungi oleh undang-undang untuk dapat memilih maupun dipilih.

Pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menegaskan bahwa, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan”.

abanggal Wandikbo, pengungsi Nduga, bersama ketiga anaknya(BBC Indonesia)
Yabanggal Wandikbo, pengungsi Nduga, bersama ketiga anaknya(BBC Indonesia)

Gagal pulangkan pengungsi Nduga

Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar, mengatakan hilangnya hak suara pengungsi Nduga tidak lepas dari adanya kepentingan negara.

Mulai dari penyelenggara dan peserta pemilu, pemerintah hingga aparat keamanan.

”Hak politik mereka direnggut negara, digunakan oleh negara untuk kepentingan penguasa. Kenapa negara? Karena itu terjadi secara sistemik dan terstruktur dilakukan,” katanya yang juga melakukan pemantauan pemilu pengungsi Nduga pada tahun 2019 lalu.

Anum mencontohkan, mayoritas distrik di Nduga telah ditinggalkan oleh warganya, seperti Distrik Paro yang menjadi pusat konflik bersenjata dan penahanan pilot Selandia Baru.

Namun Anum memprediksi bahwa surat suara warga Paro, dan wilayah lain akan digunakan semua.

Padahal mereka yang memiliki suara itu kemungkinan besar tidak dilibatkan dalam pemilu.

“Coba cek nanti di Paro, Mugi, Yal, yang tidak ada warga di sana, pasti ada suaranya. Demokrasi kita yang rusak, tapi mereka tidak punya pilihan, tidak punya daya tawar, karena hak pilihnya diambil alih penguasa,” tuding Anum.

Berkaca pada pengalaman 2019, kata Anum, pemilu saat itu dilakukan di Habema, perbatasan Nduga dan Jayawijaya.

Para pengungsi dimobilisasi ke TPS yang dibuat sementara.

“Di sana yang milih tidak sampai 10 orang, jadi yang lain nonton. Mencoblos dalam jumlah besar pegang surat suara. Sekarang saya khawatir ini bertambah buruk karena terpusat di ibu kota,” katanya.

Rentetan pelanggaran hak dasar yang dimiliki para pengungsi Nduga ini - dari hak untuk hidup, hak atas tempat tinggal hingga hak untuk memilih – menurut Anum merupakan dampak dari kegagalan negara dalam menyelesaikan konflik bersenjata dan mengembalikan pengungsi ke kampung halaman mereka.

”Ini bukan soal Papua merdeka atau NKRI harga mati, tapi bagaimana setiap warga negara mendapatkan hak mendasarnya,” kata Anum.

Bertahun-tahun hidup dalam pengungsian, ujar Anum, warga Nduga juga mengalami diskriminasi dan stigmatisasi.

“Mereka langsung dianggap sebagai kelompok yang melawan negara, padahal mereka adalah masyarakat sipil yang menjadi korban konflik bersenjata kedua belah pihak,” katanya.

Senada, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP), Theo Hasegem, melihat hilangnya hak politik para pengungsi ini semakin menegaskan pandangan bahwa mereka diposisikan sebagai ‘warga kelas dua’ yang secara sistematis didiskriminasi.

“Mereka bisa dikatakan warga kelas dua karena mereka tidak dilibatkan. Kita semua gagal dalam proses pemilihan ini,” kata Theo.

Pemilihan dipusatkan demi keamanan

Berdasarkan data KPU Provinsi Papua Pegunungan, terdapat 445 TPS dari 32 distrik yang ada di Kabupaten Nduga pada pemilu 2024.

Jumlah pemilih adalah 97.916 orang. Pemilihan untuk 29 distrik dipusatkan di Kenyam. Tiga distrik lainnya yaitu Mbua, Dal, dan Iniye pemilihan dilakukan di masing-masing daerah itu.

Ketua KPU Provinsi Papua Pegunungan, Theodorus Kossay, mengatakan relokasi TPS yang dipusatkan di Kenyam karena pertimbangan dari sisi keamanan.

“Menurut surat yang kita dapat, berdasarkan hasil pertemuan Forkopimda, itu semata-mata karena kondisi keamanan dan juga surat dari pihak keamanan keluar,“ kata Theodorus.

Terkait dengan kekecewaan para pengungsi yang diungkapkan pengungsi ke saya, Theodorus mengaku belum mengetahuinya.

“Apakah masyarakat juga ikut diangkut ke sana, itu harus dipertimbangkan. Tapi dengar-dengar yang diangkut hanya penyelenggara pemilu saja.”

“Ini juga saya rasa menimbulkan tendensi konflik di masyarakat karena mereka tidak bisa hadir untuk melakukan sepakat di forum kesepakatan untuk memberikan suara ke siapa,“ tambahnya.

Namun Theodorus menegaskan bahwa dalam sistem noken kepala suku memiliki peran penting dalam memimpin musyarawah hingga mengambil keputusan.

“Itu [suara] jadi sah karena kesepakatan ada yang memimpin namanya kepala suku, yang hadir siapa-siapa saja dan dianggap sudah mewakili yang lain. Ada kekuasaan dari sang kepala suku,“ katanya.

Theodorus pun menegaskan jika nanti dalam pelaksanaan relokasi TPS itu tidak sesuai aturan maka berpotensi akan menciptakan masalah ke depannya.

Bripda Petrik Arwakon personel Ops Rasaka Cartenz-2023 menjadi tenaga pengajar dalam memberikan pelajaran kepada 15 anak di kampung Delpel, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Rabu (2/8/2023).
Bripda Petrik Arwakon personel Ops Rasaka Cartenz-2023 menjadi tenaga pengajar dalam memberikan pelajaran kepada 15 anak di kampung Delpel, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Rabu (2/8/2023). (Tribun-Papua.com/Istimewa)

Sementara itu, guna mencegah potensi kecurangan yang terjadi dalam pemilihan, Theodorus mengatakan bahwa setiap TPS telah dilengkapi dengan formulir C kejadian khusus.

Kertas itu digunakan untuk mencatat setiap proses sistem noken, dari pengambilan kata sepakat, peran kepala suku, masyarakat yang terlibat hingga hasilnya.

Ketua Bawaslu Provinsi Papua Pegunungan, Fredy Wamo, melihat bahwa kekecewaan para pengungsi itu tidak lepas karena para pengambil keputusan tidak bisa menjangkau semua pengungsi Nduga yang tersebar di banyak wilayah.

“Mungkin kendalanya karena terpencar-pencarnya para pengungsi yang menyebabkan tidak bisa terakomodir secara bulat,” katanya.

Tapi terlepas dari itu, Fredy meminta kepada aparat keamanan dan pemerintah untuk mengembalikan para pengungsi ke tempat asal mereka.

“Negara harus bisa hadir untuk bisa membawa masyarakat kembali ke tempat masing-masing sehingga hak politik mereka bisa disalurkan. Kita juga tidak lagi dipusingkan dengan banyak masalah pengungsi ini yang sejak 2018 sampai hari ini. Mereka tercerai berai kemana saja,“ katanya.

Sebelumnya, Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Izak Pangemanan mengatakan, sejumlah distrik di Nduga dalam keadaan kosong ditinggal warganya yang mengungsi, di antaranya adalah Mapenduma, Paro, Yal, Dal, dan Mugi.

Baca juga: Petugas TPS 52 Entrop Jayapura Selatan Diduga Gagalkan Pemilu, Warga Tak Dibolehkan Mencoblos

Izak menambahkan, keberadaan warga yang mengungsi itu telah didata sehingga saat pencoblosan mereka tetap dapat menyalurkan hak pilihnya.

Namun, pernyataan Izak tentang pencoblosan itu tidak sesuai dengan apa yang saya temukan di lapangan.

Hak setiap warga negara Indonesia seperti untuk hidup, hak atas tempat tinggal, dan hak untuk memilih hingga dipilih dalam pesta demokrasi dilindungi oleh undang-undang.

Dari setiap wajah pengungsi Nduga yang saya temui masih tersimpan asa dan kepedulian untuk memilih calon-calon pemimpin bangsa. (*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Nestapa Pengungsi Nduga Papua, Bertahun-tahun Terusir dari Rumah, Kini Hak Suara Direnggut Paksa",

Sumber: Kompas.com
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved