ypmak
Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)

Pemilu 2024

Mengapa SISTEM NOKEN Perlu Ditinjau?

Komisioner KPU Papua Pegunungan, Theo Kossay mengatakan, sudah saatnya perlu ditinjau pemberlakuan sistem noken pada pemungutan suara di Pemilu.

Editor: Roy Ratumakin
Tribun-Papua.com/Istimewa
Majelis Rakyat Papua (yang merupakan sebuah lembaga perwakilan untuk penduduk asli Papua) mengklaim bahwa suku-suku di wilayah adat Mee Pago dan La Pago sudah mempraktikkan sistem noken sejak lama. 

Jika sistem noken hendak ditinjau putusan Mahkamah Konstitusi (No 31/PUU-XII/ 2014) maka menurut apa yang dikonstatir oleh Penjabat Gubernur Velix Wanggai syaratnya yang mesti dilakukan adalah pendidikan politik (political education) dan pendidikan publik (civic education) lewat demokrasi deliberatif publik atau warga masyarakat sebagai inti pembuatan keputusan yang diproduksi oleh negara melalui konsultasi dan uji publik.

Sehingga melibatkan para pihak yang akan terkena imbas dari kebijakan peninjauan sistem noken.

Artinya, sebelum sistem noken diganti dengan sistem one man one vote, perlu dilakukan sosialisasi, konsultasi dan uji publik kepada para pemangku kepentingan terutama kepala suku sehingga tak menimbulkan kegaduhan kelak di kemudian hari bila terjadi perubahan sistem pemilihan.

Pendidikan politik masyarakat menjadi urgen dan berbasis lokal, berpedoman pada tradisi dan budayanya.

Baca juga: Ini 11 Daerah di Wilayah Papua yang Masih Menggunakan Sistem Noken pada Pemilu 2024

Sehingga dalam rangka sosialisasi dan pendidikan politiknya dapat menggunakan keseharian lewat visualisasi seperti tanaman pertanian ubi, ketela, singkong, jagung, foto atau gambar yang memudahkan masyarakat menangkap pesan dan meresapi sesuai alam pikirannya.

Simbolisasi alat peraga melalui pengetahuan lokal (local knowledge) berbasis kearifan lokal (local wisdom) seperti itu justru memudahkan untuk masyarakat menerimanya.

Pengalaman emperis pelaksanaan Pemilu pertama 1971 di masa Orde Baru khusus di Papua (Irian Jaya) pernah menggunakan simbol lokal seperti jagung, payung, salib, dan ka’abah, yang mencerminkan lambang dari kontestan peserta Pemilu.

Pengalaman ini dapat diadopsi dan dimodifikasi sebagai media komunikasi dan sosialisasi dalam rangka memperkokoh pendidikan politik kepada masyarakat yang diadaptasikan dengan lingkungannya serta tingkat pendidikan dan pengalamannya.

Simpel, tak rumit dalam rangka pendidikan dan pemahaman politik masyarakat.

Perlu disadari untuk dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan guna memastikan sosialisasi dan pendalaman yang serius sekaligus memberikan pemahaman pada masyarakat, sehingga dapat dilakoninya.

Memang tidak segampang membalik telapak tangan melakukan transformasi dan perubahan mind set masyarakat bermigrasi dari sistem noken ke sistem one man one vote.

Hal tak kalah penting, jangan sampai menimbulkan dampak psikologis politis berkurangnya peranan dan wewenang dari seorang kepala suku yang tadinya dominan dalam pengambilan keputusan, memberikan direction kepada masyarakat untuk menjatuhkan pilihan kepada kandidatnya.

Butuh proses dan time line tidak saja dilakukan menghadapi Pemilu. Katakan butuh lima tahun dalam menyiapkan masyarakat untuk menggunakan cara baru.

Dengan demikian praktik dalam rangka substitusi transisi dari sistem noken ke sistem one man one vote dapat terwujud.

Fungsi dan peranan partai politik maupun penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu) agar bekerja serius menyukseskan transformasi politik dan transformasi digital kepada konstituen dan masyarakat. (*)

Sumber: Tribun Papua
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved